Kamis 06 Mar 2014 12:21 WIB

Kemenkeu Setujui RPP Tarif Penghulu

Penghulu menikahkan pasangan pengantin
Foto: Antara
Penghulu menikahkan pasangan pengantin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Iqbal/Amri Amrullah

Sudah empat bulan sejak kasus gratifikasi penghulu di Kediri membuat cemas para penghulu yang bertugas di luar KUA.

JAKARTA — Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tarif penghulu telah selesai dibahas di internal Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, pekan ini, draf RPP akan dikirim ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). “Untuk diproses lebih lanjut,” ujar Askolani melalui pesan singkat kepada Republika, Selasa (4/3).

Inspektur Jenderal Kementerian Agama Muhammad Jasin sempat mengeluhkan nasib pengesahan beleid ini yang tersendat di Kemenkeu. Menurut dia, imbas dari lambannya pengesahan tersebut adalah molornya target Kemenag agar tarif penghulu berlaku pada Februari.

Askolani enggan berpolemik terkait pernyataan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. “Tidak ada duduk perkaranya. Semua baik-baik saja, tidak ada yang beperkara,” ujar Askolani menanggapi pertanyaan Republika.

Dalam draf RPP, Kemenag mengusulkan agar biaya penghulu yang menikahkan di luar jam kerja dan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) sebesar Rp 600 ribu.

Sementara, untuk yang menikahkan di KUA, biaya yang dikenakan Rp 50 ribu. Khusus untuk warga miskin, diusulkan tidak dikenakan biaya selama yang bersangkutan menunjukkan surat keterangan tidak mampu.

Penerimaan biaya penghulu nantinya akan masuk ke dalam penerimaan bukan pajak (PNBP). Penerimaan nantinya akan dikembalikan sebesar 80 persen dari total penerimaan ke Kemenag sebagai biaya operasional penghulu.

Sebelum adanya draf RPP ini, pasal terkait penerimaan penghulu masih termaktub dalam PP No 49/2002 tentang PNBP.

Para penghulu pun berharap proses pengesahan RPP bisa dipercepat. Jika masih juga tersendat, Ketua Umum Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wagimun AR meminta jaminan hukum sementara bagi pencatatan pernikahan di luar Kantor Urusan Agama (KUA).

Menurut dia, harus ada jaminan dari Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemenag dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama kejaksaan terkait penerimaan yang saat ini diperoleh penghulu.

Saat ini, ujar dia, para penghulu yang bertugas di luar KUA dan di luar jam kerja terkadang terpaksa harus menerima imbal jasa dari pihak mempelai.

“Dalam waktu dekat, kita akan berkunjung lagi ke Irjen Kemenag. Kita ingin irjen bisa mengomunikasikan ini ke KPK dan kejaksaan,” ujar Wagimun, Selasa (4/3).

Ia mengungkapkan, sudah empat bulan sejak kasus gratifikasi penghulu di Kediri membuat cemas para penghulu yang bertugas di luar KUA. Selama empat bulan itu, penghulu diliputi kecemasan, takut kasus gratifikasi terulang.

Jaminan hukum itu, jelas dia, termasuk bagaimana mekanisme pelaporan imbal jasa yang lebih efisien. Dengan adanya jaminan hukum, penghulu di daerah pun tidak perlu melapor ke KPK di Jakarta bila ingin melaporkan imbal jasa.

Dia menjelaskan, hingga saat ini sudah tidak bisa berbuat banyak menanggapi keluhan dari para penghulu di setiap daerah. Karena itu, kata dia, APRI hanya bisa kembali meminta Kemenag mendorong kementerian terkait agar proses penyesuaian tersebut tidak memakan waktu yang lama.

Wagimun mengungkapkan, para penghulu juga mengkhawatirkan pembahasan penarifan ini tertunda karena aktivitas politik 2014.

Pasalnya, saat ini sudah memasuki bulan menjelang pemilu legislatif. “Kita tidak mau aturan ini dikorbankan karena proses politik. Kasihan kami para penghulu,” ujar dia.

Apabila indikasi tersebut mulai terlihat, Wagimun bersama ribuan para penghulu di daerah siap untuk berdemo di Jakarta. Dia berjanji akan menuntut komitmen pemerintah segera mengesahkan aturan penarifan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement