REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi/ Muhammad Subarkah
DPR optimistis RUU Jaminan Produk Halal selesai dibahas setelah pileg.
JAKARTA — Komisi VIII DPR tetap menginginkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH atau RUU Halal) disahkan sebelum masa jabatan DPR periode 2009-2014 berakhir pada 2014.
Apalagi, sebagian anggota Komisi VIII DPR menilai sudah ada titik terang dalam proses pembahasan. “Insya Allah, setelah pileg, selesai dibahas,” kata anggota Komisi VIII DPR Ali Maschan Moesa kepada Republika, Ahad (2/3).
Menurut Ali, saat ini tinggal dibutuhkan kebulatan sikap terkait lembaga yang berwenang agar RUU Halal ini segera disahkan menjadi undang-undang.
Ali mengakui, hingga kini masih ada tarik-menarik soal siapa pihak berwenang menerbitkan sertifikasi halal antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (Kemenag).
Titik terang solusinya, kewenangan sertifikasi akan dibuat di bawah koordinasi dan izin Kemenag. Sementara, MUI tetap dilibatkan sebagai penentu fatwa kehalalan.
Ali juga memberikan alternatif, yakni lembaga sertifikasi dibuat, seperti Baznas yang berfungsi sebagai koordinator zakat. Tapi, praktiknya diserahkan kepada masyarakat. “Kita hanya harus duduk bersama lagi untuk membulatkan hal ini,” kata Ali.
Saat ini, organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, juga memiliki lembaga sertifikasi sejenis, seperti LPPOM MUI. Sinergi badan-badan sertifikasi produk ini juga diperlukan. Begitu pula peran penjamin kehalalan yang saat ini dipegang MUI.
Menurut Ali, RUU JPH disusun salah satunya untuk melindungi konsumen dari label halal palsu. Saat ini, banyak label halal dipalsukan oleh produsen lantaran tidak adanya payung hukum.
Ke depannya, jika RUU JPH disahkan, biaya label halal hanya akan dikenakan bagi perusahaan menengah ke atas. Sementara, perusahaan menengah ke bawah akan dibebasbiayakan.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, sertifikasi halal bakal semakin menggairahkan pertumbuhan dunia usaha di Indonesia.
Karena itu, Fraksi Partai Golkar mendorong pengesahan RUU Jaminan Produk Halal menjadi undang-undang. “Dengan sertifikasi halal, akan dapat merangsang pertumbuhan dunia usaha,” kata Ace.
Adapun, soal lembaga mana yang berwenang menerbitkan sertifikasi halal, Ace berpendapat, RUU JPH mengatur pembentukan lembaga khusus di luar Kemenag dan MUI.
“Sejatinya, dibentuk lembaga khusus saja yang bertugas untuk memberikan sertifikasi halal tanpa meninggalkan peran MUI,” kata dia menjelaskan.
Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan peran pokok penentuan sertifikasi halal berada di pemerintah. Sedangkan, MUI terlibat sebagai lembaga pemberi fatwa atas halal atau tidaknya sebuah makanan.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang produk halal yang sedang dibahas pemerintah dan DPR itu, Dirjen Bimas Islam Abdul Jamil menjelaskan, memang sebaiknya sertifikasi produk halal berada di bawah Kemenag RI.
''Tapi, ini bukan berarti menghilangkan peran MUI karena peran institusi ini tetap diakomodasi, yakni sebagai lembaga fatwa,” ujar Abdul Jamil pada wartawan di Bengkulu, Ahad (2/3).
Menurut Abdul Jamil, sebagai konsekuensi penentuan sertifikasi halal di bawah tanggung jawab pemerintah, sumber daya manusia (SDM)-nya, termasuk kerja MUI dalam membuat fatwa, akan dibiayai negara secara proporsional.
Dengan demikian, kata Jamil, diharapkan pula ini akan meringankan beban pelaku usaha terhadap biaya sertifikasi halal tersebut.