REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penggunaan bahasa Sunda semakin mengalami penurunan dari generasi ke generasi. Dalam keseharian, generasi sekarang sudah jarang yang menggunakanya. Jika hal ini terus terjadi, dikhawatirkan dalam jangka waktu panjang bahasa daerah bisa mengalami kepunahan.
"Sudah banyak warga atau para pemuda khususnya yang meninggalkan bahasa Sunda," kata Kepala UPTD Balai Pengembangan Bahasa Daerah Jawa Barat Husen M Hasan kepada Republika, Selasa (4/3).
Menurutnya, banyak pengaruh yang menyebabkan masyarakat jarang menggunakan bahasa daerah. Salah satu pengaruh yang terbesar adalah arus globalisasi. Budaya asing yang masuk melalui media internet secara tidak sadar menggerus kecintaan generasi muda terhadap budaya lokal.
Dikatakan Hasan, globalisasi tidak bisa dihindari. Akan tetapi hal tersebut bisa dicegah agar budaya lokal tidak tergerus arus. Diantaranya, para orang tua diimbau untuk selalu menggunakan bahasa Sunda sehari-hari di keluarganya masing-masing. Hal itu dirasa paling efektif dalam melestarikan bahasa daerah.
Dengan seperti itu, lanjut Hasan, ada transfer dari orang tua ke anak-anaknya. Sehingga bahasa Sunda akan terus lestari. "Sikap petutur ini sangat penting," ujarnya.
Selain itu, peran serta pemerintah juga harus ada. Maka, kata Hasan, di Jawa Barat, pelajaran muatan lokal bahasa daerah wajib diajarkan di sekolah mulai dari tingkat dasar sampai tingkat menengah.
Hal itu tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah. "Tapi itu hanya dua jam pelajaran seminggu. Yang paling penting itu dari keluarga sehari-hari," katanya.
Dia menambahkan, fenomena ini bahkan mengundang keprihatinan tokoh masyarakat yang ada di Jawa Barat. Kondisi yang terjadi saat ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jika terus terjadi, bahasa daerah akan terus tergerus arus globalisasi dan bukan tidak mungkin akan punah.