Senin 03 Mar 2014 01:15 WIB

Ini Bisa Jadi Titik Temu RUU Produk Halal

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Joko Sadewo
Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Produk Halal (RUU JPH) disebut sudah ada titik temunya. Tinggal dibutuhkan kebulatan sikap terkait lembaga yang berwenang agar RUU ini segera disahkan menjadi undang-undang.

Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB, Ali Maschan Moesa mengungkapkan sebenarnya sudah ada titik terang atas RUU JPH soal lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi, yang saat ini masih terjadi tarik menarik antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Kementerian Agama (Kemenag).

Titik terangnya, kewenangan sertifikasi akan dibuat di bawah koordinasi dan izin Kemenag. MUI tetap dilibatkan sebagai penentu fatwa kehalalan.

Atau, kata Ali, lembaga sertifikasi dibuat seperti BAZNAS yang berfungsi sebagai koordinator zakat. Tapi praktiknya diserahkan ke masyarakat. ''Kita hanya harus duduk bersama lagi untuk membulatkan hal ini,'' kata Ali, Ahad (2/3).

Saat ini ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga memiliki lembaga sertifikasi sejenis seperti LPPOM MUI. Tinggal, kata Ali, nanti diserahkan ke masyarakat mana yang mereka minati.

Sinergi badan-badan juga diperlukan. Produk halal dan sehat adalah dua hal berbeda. Keberadaan BPOM sebagai pemeriksa keamanan produk, termasuk obat, bagi kesehatan konsumen tetap dibutuhkan.

Begitu pula peran penjamin kehalalan yang saat ini pegang MUI. Ali memandang, pengawasan produk impor bisa dilakukan melalui MUI. ''Kalau produk impor tidak jelas kehalalannya, ya repot,'' kata politikus PKB itu.

Inisiatif sertifikasi halal memang berawal dari MUI. Masyarakat dan perusahaan pangan dan farmasi juga mau melakukan sertifikasi ke sana. Ini jadi bukti masyarakat peduli akan kehalalan apa-apa yang mereka gunakan. Tapi MUI juga diminta tidak memonopoli peran dalam mensertifikasi halal.

Tapi karena tidak ada undang-undang, banyak label halal yang dipalsukan. RUU JPH dibuat salah satunya untuk melindungi konsumen dari label palsu. Namun karena undang-undang, pelaksanaanya hanya bisa oleh kementerian.

Ali mengungkapkan, Komisi VIII ingin RUU JPH disahkan sebelum masa jabatan berakhir pada September mendatang. Tapi diakuinya, untuk saat ini para legislator memang belum bisa membicarakan RUU itu kembali karena persiapan pileg di dapil masing-masing. ''Insya Allah secepatnya setelah pileg,'' ungkap Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement