Sabtu 01 Mar 2014 14:06 WIB

MUI Enggan Serahkan Sertifikasi Halal

Rep: Andi Ikhbal/ Red: Mansyur Faqih
Majelis Ulama Indonesia (ilustrasi)
Majelis Ulama Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengklaim sertifikasi halal produk pangan atau obat-obatan merupakan urusan lembaganya. Pemerintah hanya perlu membuat regulasi bila sebagian dari pemasukan tersebut disumbangkan ke kas negara.

Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnen mengatakan, sudah menjalankan sertifikasi ini selama 25 tahun. Upaya kementerian agama ingin mengambil alih peran MUI sebagai lembaga yang dianggap berwenang, dinilai serakah.

"Kalau memang sebagian pemasukan dari sertifikasi ini harus masuk dalam kas negara, maka buat saja peraturannya. Sertifikasi ini merupakan wewenang MUI sebagai lembaga yang mewadahi kebutuhan umat Islam," kata Zulkarnen saat dihubungi Republika, Sabtu (1/3).

Kementerian, kata dia, memayungi seluruh keperluan agama di Indonesia, bukan hanya Islam. Sedangkan sertifikasi produk halal menjadi keutamaan spesifik satu agama yakni Islam. Sudah seharusnya MUI sebagai wadah umat Islam mengakomodasi hal tersebut.

Lagipula, tambahnya, terlalu banyak urusan kementerian agama yang belum selesai. Bahkan, hingga muncul dugaan korupsi, seperti persoalan haji dan kantor urusan agama (KUA). Ia mengaku khawatir jika sertifikasi halal ini diserahkan ke pemerintah, malah membuka celah penyimpangan lain.

"MUI siap diaudit kalau memang ada dugaan semacam itu atas sertifikasi yang kami jalani. Kami menolak untuk bekerja sama dengan kemenag, karena instansi itu sudah dianggap kehilangan legitimasinya di mata publik," ujar dia.

Kalau sertifikasi halal belum merata di seluruh perusahaan pangan dan obat-obatan, kata dia, seharusnya pemerintah dan DPR membantu menyempurnakannya. Mereka bisa membuat aturan, UKM yang dinilai tidak mampu mambayar, dibiayai lewat APBN.

Pengelolaan yang diambil alih pemerintah, menurutnya, tidak menjadi alasan kemudahan akses. Malah, perusahaan yang mengurus legalisasi halal, justru lebih sulit karena prosedur dan administrasinya ketat.

"Potensi adanya pungutan liar atau semacamnya akan terbuka lebar. Biar hal ini diurus MUI, salah kalau mereka menilai MUI hanya ulama. Kami juga memiliki pakar ahli keilmuan yang paham mengurus hal seperti ini," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement