Sabtu 01 Mar 2014 11:37 WIB

MUI: Menkes Langgar Hak Asasi Konsumen

Rep: Andi Mohammad Ikhbal/ Red: Muhammad Hafil
Salah satu fatwa MUI (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Salah satu fatwa MUI (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai alasan Menteri Kesehatan, Nafsia Mboi meminta pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Produk Halal ditunda, melanggar hak asasi konsumen.

Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim mengatakan, masyarakat khususnya umat muslim, sebagai konsumen perlu tahu kandungan kimia suatu obat-obatan. Jika informasinya ditutupi, hanya karena rumitnya mengkatagorikan produk tersebut halal, sama saja mengorbankan asasi konsumen.

“Saya paham kalau prosesnya rumit. Pangan pun tidak kalah rumit, terdapat banyak bahan kimia di dalamnya, namun dengan pengetahuan, kita bisa selesaikan persoalan itu,” kata Lukmanul saat dihubungi Republika, Sabtu (1/3).

Dia menambahkan, pihaknya mengerti pertimbangan Menkes Nafsiah menunda pembahasan RUU yang diajukan sejak 2006 silam. Sebab, dia belum pernah diikutsertakan dalam rapat atau diskusi aturan tersebut. LPPOM MUI, kata dia, berencana membangun komunikasi dengan Kemenkes untuk menyatukan pandangan soal urgensi halal pada obat.

Meski masukan tersebut bisa diterima, namun Lukman menyatakan, usulan Menkes Nafsiah untuk tidak memasukan produk obat-obatan dalam klausul RUU itu, dianggap bertolak belakang. Alasannya, dari 30 ribu item obat yang diproduksi 206 perusahaan, baru 34 produk yang memiliki sertifikat halal.

“Artinya, hanya 0,015 persen  yang bersertifikat. Pemerintah seolah menjadikan obat ini adalah suatu hal yang darurat sehingga, halal atau tidak bukan menjadi masalah,” ujar dia.

Pandangan itu dinilai keliru. Hukum penanganan darurat harus jelas, tidak bisa sembarangan. Contohnya, obat tersebut bisa dipakai untuk menghindari kerugian yang lebih besar seperti pasien meninggal, sedangkan belum tersedia obat penggantinya.

Lukman menambahkan, pihaknya akan berupaya mendorong Pemerintah khususnya Kemenkes agar obat-obatan masuk dalam rancangan tersebut. Bukan hanya itu, sifat dari kebutuhannya dianggap mandatory. Dia mengakui, sejauh ini belum ada komunikasi terhadap kepentingan itu.

“Cara pandang kami masih berbeda. Makanya perlu lakukan tukar pendapat dulu dengan Kemenkes. Bertemu, kemudian membuka komunikasi, ajukan gagasan dan mencari jalan keluarnya. Kami mau obat-obatan masuk RUU Produk Halal dengan sifat mandatory,” ujar Lukman. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement