Jumat 28 Feb 2014 03:05 WIB

7 Syarat untuk Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan
Foto: Antara
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Masalah dengan Australia sudah selesai delapan tahun lalu.

JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) melansir tujuh persyaratan yang harus dipenuhi oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN). Persyaratan tersebut menjadi kriteria bagi LSHLN yang ingin bekerja sama dengan MUI.

“Ada tujuh persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin bekerja sama dengan MUI,” ujar KH Amidhan dalam konferensi pers di kantor MUI, Jakarta, Rabu (26/2).

Kiai Amidhan melanjutkan, tujuh persyaratan tersebut, yakni organisasi Islam yang didukung oleh komunitas Muslim dan membantu peribadatan pendidikan dan dakwah setempat.

Berikutnya, institusi tersebut harus mempunyai kantor permanen dan staf yang berkualitas. Tak hanya itu, LSHLN juga harus memiliki komisi fatwa minimum tiga ulama dan ilmuwan atau auditor halal.

Amidhan menambahkan, lembaga ini pun harus memiliki standar prosedur yang meliputi administrasi pengujian pabrik dan prosedur komisi fatwa MUI.

“Juga memiliki administrasi yang baik sehingga mudah untuk proses audit.” Selanjutnya, LSHLN harus memiliki jaringan yang luas, menjadi anggota WHFC, serta memiliki kapabilitas bekerja sama dengan MUI dalam mengawasi produk halal.

Menurutnya, MUI hingga saat ini memiliki 44 LSHLN di seluruh dunia. “Hanya ada satu yang bermasalah, yakni di Australia, tapi sudah selesai delapan tahun yang lalu.”

Perusahaan yang bermasalah itu adalah Australian Halal Food Services (AHFS). AHFS diskors pada April 2013 karena melanggar ketentuan sistem negara.

Lembaga penerbit sertifikat halal tersebut menyembelih di salah satu rumah jagal yang bertentangan dengan syariah. AHFS juga mengabaikan pengawasan proses penjagalan tersebut dengan mengedarkan blangko kosong.

“Dan, orang yang duduk di perusahaan itu adalah anak dan istrinya. Juga, tidak ada ulama di situ,” kata Amidhan yang mengaku melakukan peninjauan langsung ke Australia.

Dia menambahkan, peran LSHLN diperlukan dalam proses sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja. Sedangkan, penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara gratis.

Pembiayaan dalam proses pengakuan hanya untuk mengganti biaya perjalanan dan honor auditor. “Jadi, sertifikat yang diterbitkan tidak dikenai biaya apa pun,” ujar dia.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim mengatakan, LPPOM akan memverifikasi produk yang mendapatkan rekomendasi dari LSLHN setelah tujuh kriteria itu dipenuhi melalui sistem kuesioner.

“Kemudian, Dewan Pimpinan MUI akan menetapkan status kelayakan LSHLN untuk dikunjungi,” jelas Lukmanul Hakim.

Jika sesuai, akan diterbitkan sertifikat MUI atas pengakuan lembaga sertifikasi halal untuk kategori tertentu. MUI lalu akan melakukan peninjauan ulang atas pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali.

Menurutnya, biaya untuk sertifikasi halal bervariasi, bergantung pada banyaknya jenis produk dan besar-kecilnya perusahaan itu.

Dia menjelaskan, biaya tersebut bervariasi, mulai Rp 1 juta hingga Rp 5 juta, untuk perusahaan menengah ke atas dan nol rupiah hingga Rp 2,5 juta untuk perusahaan kecil.

Meski demikian, biaya tersebut belum termasuk transportasi dan akomodasi audit lapangan pimpinan MUI ke lapangan, khususnya untuk sertifikasi halal di luar negeri.

Pemberian transportasi dan akomodasi, sambung Lukman, bukanlah gratifikasi. “Semuanya sukarela. Tidak ada namanya gratifikasi karena MUI bukan lembaga negara.”

Dia menegaskan, proses sertifikasi halal sebuah produk dilakukan secara terbuka. Menurutnya, proses sertifikasi halal sifatnya masih sukarela. Hanya daging dan produk ternak yang wajib melakukan sertifikasi halal.

Proses sertifikasi pun dilakukan melalui sistem online CEROL SS-23000, baik pendaftaran maupun pembayararan. Jika berkas yang dibutuhkan lengkap dan proses tahap ini berjalan benar, baru dilakukan penjadwalan audit.

Hasil audit lapangan harus disampaikan terbuka dalam rapat auditor dan dibahas secara saintifik sehingga keputusannya pun ilmiah.

Menurutnya, ada 30 hingga 40 auditor  LPPOM yang hadir dalam rapat pekanan. Komisi fatwa pun tidak boleh mengintervensi karena bahasannya ilmiah.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement