REPUBLIKA.CO.ID, Kebangkrutan industri kaset dimulai dengan kehadiran dan peredaran cakram padat (CD) sebagai alternatif kemasan musik.
Deretan pedagang kaki lima (PKL) berjejer di samping Stasiun Bogo. Dari puluhan PKL di sana, ada satu lapak berukuran dua meter persegi yang boleh dibilang paling istimewa. Di lapak beratap terpal itu tidak menjual tas, sepatu, atau makanan, tetapi barang langka yang sudah jarang ditemui, yakni kaset tape.
Saat ROL menyambangi lapak tersebut, seorang perempuan tua berkerudung menyapa dari balik dagangannya, menanyakan apa yang sedang dicari. Tak lama, datang seorang pria paruh baya berbadan gempal. Namanya Sukardi (60 tahun). Si ibu tadi adalah istrinya, Sukaesih (58). Pada kursi-kursi plastik kami duduk, lantas Sukardi berbagi cerita.
Sekitar 1990, ketika industri kaset tengah berjaya, Sukardi adalah satu dari puluhan pedagang kaset yang membuka lapak di sekitar Stasiun Bogor. Kini, ia tinggal sendiri, bahkan menyebut diri sebagai satu-satunya yang tersisa di Kota Bogor. Sukardi sudah berjualan kaset di Stasiun Bogor sejak 1980, artinya hampir tiga setengah dekade ia menjual kaset. Sukardi merasa bangga lantaran dari berdagang kaset dulu ia bisa membeli tanah, rumah, hingga menyekolahkan anak-anaknya. Sayang, semua itu kini tinggal kenangan.
Menurutnya, kisah kebangkrutan industri kaset dimulai dengan kehadiran dan peredaran cakram padat (CD) sebagai alternatif kemasan musik. Sejak 2000-an, CD mulai menggusur kaset dan semakin mendominasi pasar musik Tanah Air. Memang, kini orang begitu mudah mendapatkan dan menyimpan musik. Bisa mengunduh dari internet lantas menyimpannya di komputer jinjing, tablet, ponsel, dan lain sebagainya. Industri kaset kini tinggal menunggu waktu untuk benar-benar terkubur.
Pria sepuh berkulit gelap itu merenung dalam. Disyukurinya, masih ada beberapa orang penikmat kaset yang tersisa. Pelanggannya rata-rata orang tua dan kebanyakan berasal dari Jakarta. “Kalau anak muda, sudah jarang. Paling satu-dua, nyari lagu Barat, ada juga yang nyari Iwan Fals,” ujarnya.
Bersama Sukaesih, istri yang dinikahinya sejak 1985, mereka tinggal tak jauh dari stasiun, tepatnya di Desa Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat. Sukardi melewatkan hampir seluruh hidupnya di stasiun. Sedari kecil, ia sudah terbiasa mengais rezeki dari penumpang kereta, dari mulai menjadi tukang semir sepatu, menjadi pedagang asongan, hingga akhirnya mulai berjualan kaset hingga sekarang.
Setiap pagi, Sukardi dan Sukaesih datang ke lapak diantar jemput seorang menantu mereka dengan sepeda motor. Dibantu sang menantu pula, mereka kemudian membenahi barang dagangannya. Sukardi dan Sukaesih baru menutup kiosnya pada sore hari. Di lapaknya, dua papan tempat kaset terpasang, sekaligus menjadi dinding di bagian belakang dan samping kanan. Di bagian depan, terdapat satu meja yang dipenuhi kaset. Bermacam kaset ada di sana, dari mulai dangdut, musik Barat, hingga dakwah dan murotal. Menurut Sukardi, yang paling banyak dicari, yakni tembang-tembang lawas, seperti Rhoma Irama, Tetty Kadi, atau Lilis Suryani.
Sukardi berkata, ia mendatangkan dagangnnya dari Pasar Glodok, Jakarta, seharga Rp 4.500 per buah. Sisanya merupakan kaset-kaset bekas dari masyarakat yang datang menjual dan dihargai Rp 1.000-2.000 per buah. Sukardi menjual satu kaset seharga Rp 7.000. Kadang ia memberikan potongan bagi mereka yang menawar. Penghasilannya sehari kadang tak lebih dari Rp 100 ribu, yang diakuinya hanya cukup untuk membuat dapur mengepul sehari-hari.
Kini di usianya yang semakin senja, tidak banyak yang ia inginkan, kecuali melihat lima anaknya bahagia. Sesepuh di lingkungan PKL Stasiun Bogor itu mengaku sudah tidak lagi berpikir mencari pekerjaan lain. Terlebih, tubuhnya sudah semakin ringkih akibat radang tulang yang dideritanya sejak tiga tahun lalu.
“Saya sudah terlalu tua. Sudah nggak mampulah bersaing sama yang muda-muda. Sekarang tinggal menikmati dan mensyukuri saja apa yang ada,” katanya haru, seraya menoleh ke sang istri.