Selasa 25 Feb 2014 08:29 WIB

Pengadaan Barang dan Jasa Terganggu Karena 'Titipan' Anggota DPR

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Bilal Ramadhan
Pengadaan tanah - ilustrasi
Pengadaan tanah - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketakutan aparatur kementerian/lembaga (K/L) di pemerintah pusat maupun aparatur satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan pengadaan barang dan jasa tidak hanya disebabkan permasalahan hukum semata.

Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menilai, ketakutan para aparatur disebabkan oleh keberadaan anggaran pengadaan barang dan jasa yang telah disahkan oleh legislatif adalah titipan legislatif.

"Sehingga lelang harus diatur sesuai dengan pesanan dari legislatif, termasuk yang menentukan siapa pemenangnya," ujar Uchok kepada Republika, Selasa (25/2).

Penyebab lainnya, menurut Uchok, adalah setiap program beserta program yang hendak dilelang, harus siap dipotong (fee percentage). Entah itu untuk kepentingan atasan sang aparatur, operasional K/L atau SKPD serta anggota legislatif.

Pemotongan semacam ini jelas akan berdampak kepada buruknya kualitas barang dan jasa hasil pengadaan. Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) mencatat, kinerja realisasi belanja kementerian/lembaga (K/L) tahun anggaran 2013 secara kumulatif mencapai 90 persen dari pagu yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2013 yakni sebesar Rp 634,6 triliun.

Pencapaian tersebut lebih baik dibandingkan setahun sebelumnya yang tercatat 89,3 persen dari pagu Rp 547,9 triliun. Akan tetapi jika ditilik lebih dalam, terjadi penurunan realisasi belanja K/L, khususnya pada belanja barang/jasa.

Berdasarkan laporan TEPPA, realisasi belanja barang dan jasa K/L 2013 mengalami penurunan enam persen, dari 86 persen dari pagu 2012, menjadi 80 persen dari pagu 2013 sebesar Rp 206,5 triliun. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, realisasi belanja barang dan jasa APBD Provinsi se-Indonesia tercatat 89,2 persen.

Sedangkan realisasi belanja barang dan jasa APBD Kabupaten/Kota se-Indonesia lebih rendah yaitu 84,42 persen. Secara keseluruhan, Uchok menilai persoalan ini bukan berada pada aparatur di level bawah. "Tetapi persoalannya ada pada pejabat publiknya seperti kepala daerah dan DPRD," kata Uchok.

Terkait solusi yang ditawarkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi agar keberadaan (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah) seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat jenderal di masing-masing K/L maupun inspektorat daerah dioptimalkan, Uchok meragukannya.

"APIP masih lemah, karena fungsinya masih di bawah kepala daerah dan DPRD," ujar Uchok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement