Senin 24 Feb 2014 06:45 WIB

Jual Beli Gelar Marak Jelang Pemilu

Rep: Indah Wulandari/ Red: Bilal Ramadhan
Peta Kerajaan Aceh tempo dulu.
Foto: Visitaceh.blogspot.com
Peta Kerajaan Aceh tempo dulu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Dugaan praktik jual beli gelar kerajaan di Indonesia bagi para pejabat maupun pesohor negeri jelang Pemilu 2014 terbentuk dari nilai sosial yang dipengaruhi pola pikir masyarakat yang masih tradisional. Praktik ini disinyalir bakal permanen jika tak ada perbaikan di bidang pendidikan.

"Dalam model masyarakat tradisional, sistem patron-klien, dimana terdapat nilai-nilai penghormatan terhadap orang-orang yang berkedudukan tinggi, masih banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat kita," terang pengamat sosial budaya Universitas Indonesia Devie Rahmawati, Senin (24/2).

Siapakah orang yang berkedudukan tinggi di mata masyarakat Indonesia? Devie memaparkan, yang masuk kategori ini ialah para pejabat, atau orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang mapan atau orang-orang yang berpendidikan tinggi atau yang memiliki darah biru atau keturunan penguasa.

"Simbol-simbol tadi, faktanya di era modern, justru dikapitalisasi oleh oknum-oknum tertentu, yang berupaya memenuhi permintaan dari banyak orang, yang ingin menggunakan simbol untuk kepentingan pribadinya," ulas Devie.

Dosen Vokasi UI ini mencontohkan penggunaan simbol tadi mencerminkan kekuasaan, harta maupun jaringan. Namun, ia memahami perilaku mengejar gelar berupa simbol-simbol tadi terlahir karena kondisi demografi negeri ini.

Data World Bank yang dikutip Econit menyebutkan, terdapat 70 persen masyarakat Indonesia maksimal berstatus lulusan SMP. Sehingga sebaran masyarakat yang kritis terhadap ketokohan serta kompetensi para politisi maupun pesohor masih rendah. Lantaran tingkat pendidikan yang tinggi belum signifikan dibandingkan dengan total masyarakat Indonesia secara umum.

"Selama tingkat pendidikan dan akses terhadap teknologi masih rendah di masyarakat, sudah barang tentu nilai-nilai ini pasti akan terpelihara. Untuk memutus rantainya, hanya melalui pendidikan. Masyarakat yang rasional, tentu akan memilih pemimpin yang kompeten dan profesional, bukan semata-mata karena simbol yang dimiliki," papar Devie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement