REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kerancuan praktik adat dan istiadat dan budaya nusantara sudah semakin mengkhawatirkan.
Menurut Sekjen BP Silatnas Benny Ahmad Samu Samu, kondisi ini yang membuat pihaknya berinisiatif menggelar Konvensi Nasional penyusunan rekomendasi tentang adat, adab dan budaya nusantara 2014 di Gedung Merdeka, Ahad (23/2).
Kerancuan tersebut, misalnya, ada orang Malaysia yang menobatkan orang Indonesia sebagai raja. "Ada orang Kalimantan melibatkan gelar raja bagi orang Sulawesi. Ada orang kalimantan menobatkan orang Jawa atau sebaliknya. Ini rancu, secara tatanan adat yang benar," kata dia.
Benny mengatakan pemberian gelar raja atau sultan harus berdasarkan aturan darah segaris. Berkaca pada persoalan ini pihaknya berinsiatif dan mengajak tokoh-tokoh masyarakat adat menggelar konvensi. "Kami minta dukungan pemerintah, mereka merespon di lima kementerian yang ada," katanya.
Dari konvensi ini, kata dia, pihaknya mengajak seluruh masyarakat adat nusantara yang hadir untuk sama-sama menetapkan dan mendirikan majelis ahli adat istiadat dan budaya (Mahadaya Nusantara). Mahadaya ini, pelakunya tak hanya raja dan sultan tapi semua ahli-ahli yang berhubungan dengan kebudayaan.
"Pemerintah, budayawan semua masyarakat bisa masuk dalam Mahadaya Nusantara ini. Tapi ada catatan tak ada unsur politik," katanya.
Majelis ini, kata dia, nantinya akan menjadi payung hukum bagi organisasi atau perkumpulan yang berkaitan dengan adat istiadat. Majelis ini nantinya akan jadi induk.
Pemerintah bisa berkonsultasi pada majelis ini jika ingin mengetahui mana yang benar, termasuk jika ada negara asing yang ingin tahu mana gelar yang benar.
''Selama ini ada orang mengaku. Saya sering menerima pertanyaan, apakah si A keturunan raja daerah ini atau tidak,''.
Dikatakan Benny, selagi itu ada silsilah, diakui di daerahnya, ada tatanan adat, maka benar. Namun kalau hal tersebut tak terbukti, maka salah.