REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Mangisi Situmorang (MS) mengakui bahwa istrinya pernah memarahi para pekerja rumah tangganya, namun membantah ada penganiayaan yang dilakukan oleh sang nyonya.
"Kalau mereka melakukan kesalahan tentu kita tegur, kalau dibiarkan artinya kita tidak sayang kepada mereka. Kalaupun menegur pakai suara keras itu wajar, terutama kepada pekerja yang melakukan kesalahan berulang-ulang," ujar MS kepada wartawan di Kota Bogor, Sabtu.
Menurut dia, istrinya memarahi para pekerja jika melakukan kesalahan yang berulang. Cara istrinya memarahi dengan mengatakan "kamu tidak boleh begitu, harusnya begini".
"Setiap istri saja menegur mereka. Mereka ini jawabnya siap 'buk' (bu). Eentah dari mana mereka tahu pengucapan siap itu sudah seperti di kepolisian saja," ujar sang jenderal pensiunan.
Menurut MS, ketegasan istrinya terhadap pelanggaran kesalahan dalam menjalankan pekerjaan di rumah ini juga yang memicu kaburnya belasan pekerja pada 2012.
Ia membenarkan bahwa pada 2012 da pekerja rumah tangga keluar dari rumahnya dengan jumlah sebanyak 11 orang.
"Jumlahnya 11 orang, ada salah satu pekerja bernama Jhon dimarahi oleh istri saya. Jhon ini pekerja tertua karena sudah lama bekerja di rumah. Istri saya mengatakan kalau dia berbuat salah lagi akan dilaporkan ke polisi. Karena keras tegurannya, mungkin dia jadi jengkel, dan mempengaruhi yang lainnya. Mereka lari dari rumah karena saat itu Jhon yang memegang kunci rumah. Tapi setelah itu mereka balik lagi ke rumah dan mau kembali bekerja," ujarnya.
Di rumah MS Terdapat 16 pekerja rumah tangga, terdiri dari lima laki-laki dan sisanya perempuan. Dari 11 orang pekerja perempuan, satu orang menyandang tuna wicara atau bisu, serta keterbelakangan mental.
Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, ada yang kerja membersihkan kamar, membersihkan rumah, memasak dan cuci piring, menyeterika pakaian, dan empat pria lainnya dipersiapkan untuk mengurus ternak lele milik jenderal.
Menurut pengakuan MS, masing-masing pekerja digaji Rp1 juta per bulan. Namun gaji tersebut tidak diberikan setiap bulan melainkan setahun setelah mereka bekerja, atau pada saat mereka akan pulang ke kampung halaman setelah satu tahun.
"Kebutuhan mereka sudah dicukup, mulai dari makan tiga kali sehari, sarapan roti setiap pagi, jajan baso sore hari, bahkan odol, sikat gigi dan celana dalam kita siapkan semua. Jadi uang mereka utuh diterima setelah satu tahun bekerja," ujarnya.
Ia dengan tegas membantah adanya tindakan penyekapan, penganiayaan serta mempekerjakan anak di bawah umur di rumahnya.
Ia mengatakan, istrinya sudah berlaku baik kepada seluruh pekerja yang ditampung di rumahnya setelah dibawa dari Pulo Gadung karena terlantar tidak memiliki pekerjaan.
"Kalau dikatakan terjadi penyekapan itu tidak benar. Anak-anak (PRT) ini bisa beraktivitas keluar masuk rumah, mereka bebas, karena ada kunci yang dipegang oleh salah satu pekerja. Pagi-pagi mereka beli roti, sorenya bahkan ikut makan baso bersama istri saya," ujarnya.
Terkait indikasi praktik perdagangan perempuan dan anak seperti disampaikan Komnas Perlindungan Anak, MS mengatakan rata-rata asisten rumah tangga yang dipekerjakannya berusia antara 17 sampai 53 tahun, dan kebanyakan berumur 20-an tahun.
"Jadi 'trafficking' dari mana, mereka semua sudah dewasa sudah 18 tahun. Memang ada yang bayi itu baru melahirkan, dan mereka sudah hamil duluan sebelum bekerja di tempat saya," ujarnya.
Masalah di rumah MS terungkap berawal dari laporan YL ke Polresta Bogor. YL didampingi keluarganya mengaku mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya selama bekerja di rumah istri purnawirawan jenderal MS, di Perumahan Duta Kencana, Jalan Danau Matana, Blok C5, Kelurahan Tegalega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
YL mengaku dirinya mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tidak digaji selama tiga bulan.
Korban melarikan diri dan sempat telantar di jalan selama dua hari, kemudian ditemukan oleh warga dan akhirnya bertemu dengan keluarga yang segera melapor ke Polresta Bogor.
Pihak Polresta Bogor saat ini masih menyelidiki dugaan kekerasan tersebut dan meminta visum karena belum ditemukan bukti-bukti kekerasan pada tubuh korban.
"Secara kasat mata memang tak terlihat ada luka, namun karena laporan kekerasan dalam rumah tangga, kami mintakan visum. Hasilnya belum keluar," kata Kapolresta Bogor AKBP Bahtiar Ujang Purnama.