REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan surat ke presiden dan DPR RI untuk meminta penundaan pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP. KPK melihat ada beberapa poin krusial yang dapat mengganggu pemberantasan korupsi dan tindak pidana khusus lainnya dalam isi draft RUU tersebut.
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, KPK meminta penundaan karena ada beberapa poin krusial yang dapat menganggu pemberantasan korupsi dalam isi draft RUU. Ia mencontohkan dalam sifat tindak pidana luar biasa dari kejahatan korupsi akan terhapuskan karena dimasukkan dalam buku dua RUU KUHP. Sehingga menjadi tindak pidana umum. "Begitu juga kejahatan luar biasa lainnya, seperti terorisme, narkotika, dan Hak Asasi Manusia (HAM)," kata dia.
Sebagai konsekuensi hilangnya sifat kejahatan luar bias itu, Samad mengatakan, lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang itu menjadi tidak relevan. Selain KPK, ia mencontohkan, Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan juga Badan Narkotika Nasional (BNN). "Atau bisa dikatakan lembaga-lembaga ini menjadi bubar," ujar dia.
Poin krusial lainnya, menurut Samad, mengenai penghilangan kewenangan penyelidikan. Menurut dia, fungsi penyelidikan itu yang selama ini sangat berguna. Sehingga penyidik KPK bisa melakukan upaya, antara lain penyadapan dan juga penyitaan. "Kalau kewenangan penyelidikan itu dihilangkan maka akan sulit melakukan langkah atau upaya hukum yang bisa mempercepat upaya pemberantasan korupsi," kata dia.