REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan surat ke presiden dan DPR RI untuk meminta penundaan pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP. KPK melihat ada beberapa poin krusial yang dapat mengganggu pemberantasan korupsi dan tindak pidana khusus lainnya dalam isi draft RUU tersebut.
"Posisi KPK dalam hal ini tidak sedang dalam posisi menolak serta merta RUU KUHAP dan RUU KUHP. Tapi posisi KPK pertama ingin memohon kepada pemerintan dan DPR untuk sebisa mungkin menunda atau menangguhkan pembahasan kedua Rancangan Undang-Undangan tersebut," kata Ketua KPK Abraham Samad, dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (19/2).
Samad mengatakan, KPK sudah melayangkan surat ke Presiden dan DPR, Rabu ini. Ada beberapa rekomendasi yang disampaikan KPK selain meminta penundaan pembahasan. Menurut Samad, KPK juga meminta agar delik korupsi dan delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan Undang-Undang (UU) tersendiri sebagaimana yang berlaku saat ini. "Supaya lex specialisnya kelihatan," ujar dia.
Menurut Samad, KPK juga merekomendasikan RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil dibahas setelah dilakukan pembahasan RUU KUHP sebagai hukum pidana materilnya. Selain itu, KPK juga menyarankan agar pemberlakukan kedua RUU tersebut dilakukan dengan masa transisi tiga tahun. "Untuk menyesuaikan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang lainnya yang terkait," kata dia.