Rabu 19 Feb 2014 19:09 WIB

Pasar Tradisional Kalah Bersaing dengan Mall

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Karta Raharja Ucu
Suasana di salah satu pasar tradisional.
Foto: Antara/Nyoman Budhiana
Suasana di salah satu pasar tradisional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kumuh dan jorok adalah kesan yang melekat pada pasar tradisional. Tak heran pasar tradisional di sejumlah daerah semakin ditinggalkan konsumen yang beralih ke pasar modern alias mal yang lebih bersih dan nyaman.

Pasar tradisional di Depok, Jawa Barat, misalnya, semakin kehilangan pembeli karena kondisinya yang becek dan membuat pengunjung tidak nyaman. Terlebih, di kota satelit Jakarta itu sudah disesaki sejumlah pusat perbelanjaan yang semakin meminggirkan pasar tradisional.

Karenanya, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok didesak segera memperhatikan nasib pasar tradisional yang semakin ditinggalkan konsumen yang beralih ke pasar modern. “Pasar tradisional harus jadi perhatian utama. Apalagi, kepemilikannya banyak orang. Misalnya,  ada 300 kios maka kemungkinan ada 300 orang pemilik. Kalau pasar modern, ya satu orang. Bahkan, kepemilikannya dari luar atau asing. Dari sisi keuntungannya pun dibawa keluar juga,” kata anggota DPRD Depok Suparyono di Balai Kota, Depok, Selasa (18/2).

Suparyono meminta Pemkot Depok lebih intens memperhatikan para pelaku pasar tradisional. Sebab, kebanyakan mereka tidak memiliki kemampuan mengelola dan kalah bersaing dengan pasar modern. Bahkan, pendidikan para pelaku pasar tradional kebanyakan menengah ke bawah. Sehingga, kemampuannya dalam mengelola usaha di pasar tidak sehebat pasar modern yang kian menjamur di Kota Belimbing tersebut.

“Pedagang di pasar tradisional harus ditingkatkan kemampuannya agar berdaya saing,” kata Ketua DPD PKS Depok itu menjelaskan.

Namun, Suparyono juga meminta pedagang pasar tradisional bersikap kooperatif. Sebab, terkadang untuk mengaturnya agar lebih tertib, susahnya bukan main. Ia mencontohkan, saat jalan pasar akan dibeton, bukannya gembira, mereka malah protes dan demo. Jadi, tidak heran bila kondisinya terus becek. Menurutnya, jika kondisi pasar becek dan kumuh, pasti akan ditinggalkan konsumen.

Suparyono juga menyoroti pedagang kaki lima (PKL) yang membuka kios. Dari aspek yuridis, katanya, harus diselesaikan. Ia meminta Pemkot Depok tidak membiarkan toko modern terus menjamur dan harus membatasinya. 

“Untuk menghilangkan persaingan, ya harus buat regulasi. Seperti, kalau Pasar Agung khusus produk kering maka Pasar Musi khusus produk basah. Kalau ini berjalan maka akan meramaikan pasar dan menguntungkan,” ujarnya.

Ia juga meminta status pasar tradisional lainnya diperjelas. “Seperti, pada Pasar Kemiri Muka yang sudah habis banyak kita belain, ternyata kalah di pengadilan. Jangan sampai ini terjadi lagi,” kata Suparyono.

Ditemui terpisah, pelaku usaha Depok Pradi Supriyatna mengatakan, sekarang yang perlu dikembangkan, yakni koperasi dan pasar desa. Salah satunya, dengan menyiapkan pasar desa di tiap kecamatan. Sebab, langkah itu bisa mengangkat potensi daerah sendiri dan pedagang bisa tertampung.

“Saat ini, yang terpenting adalah dikembangkan pasar desa di 11 kecamatan. Apalagi, perekonomian Depok lebih terpusat di Jalan Margonda,” kata Ketua DPC Partai Gerindra Depok tersebut.

Menurut Pradi, kehadiran pasar desa bisa mengubah kondisi tak semrawut. Bahkan, salah satu alternatif untuk mengurai kemacetan. Sebab, warga ke pasar lebih cepat dan bisa menyerap pemberdayaan warga. Salah satu konsepnya adalah tradisional modern, yakni bisa bertransaksi langsung, bersih, tertata dengan baik, sanitasi bagus, dan lainnya. “Dinas pasar tak perlu sediakan lahan luas. Dengan 4.000 meter saya kira cukup dan sistemnya masyarakat swakelola,” kata Pradi mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement