Selasa 18 Feb 2014 15:18 WIB

BBM Bersubsidi Dicabut, Ratusan Kapal di Indramayu Menganggur

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Bilal Ramadhan
  Puluhan perahu nelayan ditambatkan di Pantai Jayanti, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Sabtu (13/1).   (Republika/Edi Yusuf)
Puluhan perahu nelayan ditambatkan di Pantai Jayanti, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Sabtu (13/1). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bagi kapal nelayan berukuran diatas 30 GT, membuat ratusan kapal tidak melaut. Kondisi itupun berdampak pada menurunnya produksi ikan laut dan transaksi lelang di tempat pelelangan ikan (TPI).

 

‘’Karena banyak kapal yang tidak melaut, otomatis produksi ikan dan lelang menurun,’’ tutur Manajer TPI Karangsong, Rusmadi, kepada ROL, Selasa (18/2).

 

Rusmadi menyebutkan dalam kondisi normal, nilai transaksi lelang ikan di TPI Karangsong mencapai rata-rata Rp 1 miliar per hari. Namun sejak subsidi solar dicabut hampir sebulan yang lalu, nilai transaki itu turun sekitar 30 persen.

 

Ketua Koperasi Perikanan Laut (KPL) Mina Sumitra Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Ono Surono, menyatakan, sejak 25 hari lalu, telah ada sekitar 100 kapal diatas 30 GT yang tidak melaut. Pasalnya, para pemilik kapal keberatan dengan mahalnya harga solar.

 

Ono menilai, pencabutan subsidi BBM bagi kapal sangat menyengsarakan nelayan. Apalagi, keputusan itupun dilakukan pada saat yang tidak tepat. Pasalnya, nelayan sedang dalam kondisi paceklik akibat gelombang tinggi dan cuaca buruk di laut.

 

‘’Banyak kapal yang menganggur karena pemilik kapal dan para anak buah kapalnya (ABK) khawatir pendapatan dari hasil melaut tidak mampu menutup biaya produksi,’’ kata Ono.

 

Salah seorang pemilik kapal, Robani Hendra Permana, menerangkan, keperluan BBM menghabiskan 60 – 70 persen perbekalan modal saat melaut. Jika subsidi BBM dicabut, maka kebutuhan BBM akan memakan porsi 85 – 90 persen dari total perbekalan.

 

Selain itu, lanjut Robani, dengan skema usaha bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan/anak buah kapal (ABK), maka pendapatan kedua belah pihak akan berkurang. Apalagi, saat ini pendapatan kapal sudah diambang batas antara modal dan keuntungan. "Lama kelamaan usaha kami akan bangkrut,’’ tutur Robani.

 

Tak hanya itu, lanjut Robani, kondisi tersebut juga telah menciptakan pengangguran di kalangan nelayan. Dia menyebutkan, untuk kapal berbobot 30 GT, biasanya memiliki 11 orang ABK. Sedangkan kapal berbobot diatas 50 GT, memiliki ABK 13 orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement