REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Nelayan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tak terpengaruh dengan kebijakan pemerintah soal pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, 100 persen nelayan di wilayah itu merupakan nelayan tradisional. Masyarakat kaum pesisir di Karawang semuanya menggunakan perahu dengan kapasitas di bawah 10 grosston (GT).
"Sedangkan, yang subsidi BBM-nya dicabut, yaitu nelayan yang menggunakan perahu di atas 30 GT," ujar Ketua HNSI Kabupaten Karawang, Tarpin Ardinata, kepada Republika, Senin (17/2).
Meskipun tak terpengaruh, lanjut Tarpin, nelayan Karawang melalui HNSI meminta supaya pemerintah tetap memberikan subsidi BBM. Pasalnya, nelayan yang menggunakan perahu di atas 30 GT, itu sistem pembagian keuntungannya yaitu bagi hasil. Yakni antara nelayan yang merupakan anak buah kapal dengan juragan kapal. "Jadi nelayan ABK tetap saja miskin," ujar Tarpin.
Karena itu, sebaiknya subsidi BBM untuk nelayan tetap ada. Jangan sampai dicabut. Selain itu, bila nelayan harus menggunakan BBM nonsubsidi, maka biaya operasional akan naik sekitar 150 persen. Sebab, nelayan harus menambah biaya, dari semula membeli Solar hanya Rp 5.500 per liter menjadi Rp 13.500 per liter.
Jika begitu, nasib nelayan tetap terpuruk. Ditambah lagi, harga ikan tak ada perubahan. Tapi, biaya operasional dituntut harus naik. Belum lagi, setoran untuk juragan kapal.
Jadi, lanjut Tarpin, pihaknya meminta kepada pemerintah pusat untuk mengkaji lagi kebijakan pencabutan subsidi BBM bagi nelayan. Sebab, beban nelayan selama ini sudah besar. Sedangkan, keuntungan yang diperoleh tetap segitu-gitu juga.
Kusnawan (34 tahun), nelayan asal Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, mengatakan, seharusnya pemerintah tidak mencabut subsidi BBM bagi nelayan. Dengan menggunakan BBM bersubsidi saja, kehidupan nelayan sudah susah. Apalagi, bila memakai Solar nonsubsidi.
"Pokoknya, kami tak setuju subsidi BBM dicabut. Itu sangat merugikan," ujarnya.