Ahad 16 Feb 2014 16:34 WIB

Halal untuk Kemaslahatan Manusia

Rep: Erdy Nasrul/Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Damanhuri Zuhri
Logo Halal
Logo Halal

REPUBLIKA.CO.ID,

Ketentuan halal berlaku untuk segala aspek kehidupan.

Syariat Islam diselimuti dengan hikmah yang luhur sekalipun tidak diketahui oleh umat manusia, termasuk soal urgensi halal bagi seorang Muslim.

Paling mendasar, kata guru besar syariat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung Prof Jaih Mubarok, sesuai dengan arti dasar dari halal yang bermakna terbebas, steril, apa pun yang dikonsumsi Muslim haruslah bersih dari unsur haram.

Dia menjelaskan, sejumlah ayat Alquran dan hadis menyerukan agar menghindari dan menjauhi yang haram. Sebaliknya, Muslim diperintahkan agar mengonsumsi benda yang halal serta bertransaksi sesuai syariah.

Menurut Jaih, sejumlah referensi fikih menyebutkan, perkara haram dibedakan menjadi dua, yaitu haram lidzatih (haram karena substansinya), antara lain, darah, anjing, dan babi, dan haram lighairih (karena prosesnya), antara lain, bangkai dan bunga uang.

Perkara halal, ungkap Jaih, tidak hanya terbatas pada makanan dan minuman, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan umat Islam, baik dalam domain fikih ibadah (habl min Allah) maupun yang termasuk dalam domain fikih muamalat (habl min an-nas).

Jaih pun menukilkan pendapat Khalid Ibn Abd al-Aziz al-Batali dalam kitab Ahadits al-Buyu' al-Manhiy 'Anha,urgensi halal dan menjauhi yang haram karena di dalam perkara haram pasti mengandung petaka. Sebaliknya, menggunakan/mengonsumsi barang halal atau secara halal akan membuat hidup lebih maslahat.

Pendiri Halal Corner Aisha Maharani mengatakan, makanan dan minuman yang tidak halal alias haram jelas berdampak pada kesehatan. Meskipun, tidak secara langsung terlihat secara kasat mata.

Dia mencontohkan, khamar, misalnya. Bila dikonsumsi terus-menerus, dapat merusak otak dan hati karena sifatnya yang beracun. Zat dalam khamar akan membuat pusing dan meningkatkan sifat pemarah.

Bahkan, ungkap Aisha, dampak khamar itu tidak hanya merusak kesehatan tubuh, tetapi juga mengancam keharmoniasan kehidupan akibat hilangnya kesadaran diri. Ibadah yang dijalankan pun menjadi tidak sah karena pengaruh alkohol yang masih tertinggal.

Menurut Aisha, seiring dengan kemajuan teknologi, jenis makanan dan minuman semakin bertambah dan kompleks, tak sedikit yang tidak jelas status hukumnya alias syubhat. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan masa Rasulullah SAW. Pembuatan makanan dan minuman dilakukan secara sederhana.

Merujuk pada Mazhab Syafi'i, papar Aisha, sedikit atau banyak makanan dan minuman haram yang dikonsumsi hukumnya tetap haram. Sehingga, tidak ada batas toleransi dalam mengonsumsi makanan dan minuman haram.

Unsur khamar, misalnya, sekalipun zat tersebut tidak terdeteksi, tetap saja tidak diperbolehkan. Karena itu, dia meminta umat Islam berhati-hati memilih produk makan. Pilihlah yang telah bersertifikat halal.

Anggota Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Kementerian Kesehatan Anna Roswiem mengatakan, halal berarti tidak melanggar larangan Allah SWT. Secara umum, ciptaan Allah SWT halal dikonsumsi, kecuali yang disebutkan dalam Alquran, hadis, ataupun konsesus ulama serta qiyas.

Dia menyebutkan, misalnya, perkara yang diharamkan seperti tertuang dalam surah al-Baqarah ayat 173. Di antaranya, bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah.

Anna menjelaskan, konsumsi makanan dan minuman haram tetap tidak boleh meskipun kadar konsumsinya hanya sedikit. Banyak dampak negatif akibat mengonsumsi makanan atau minuman haram. “Terutama, bagi kesehatan,” kata dia.

Babi, darah, dan bangkai, ujar Anna, merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri patogen sebagai sumber penyakit. Lambat laun, tubuhnya akan melemah karena terserang berbagai jenis penyakit. Sedangkan, meminum khamar atau alkohol diharamkan karena merusak kesehatan saraf otak.

Dia mengatakan, bila telanjur mengonsumsinya akibat ketidaktahuan, segeralah bertobat. Jangan sampai terulang kembali. Dia pun mengimbau agar terhindar dari makanan dan minuman yang halal, sebaiknya umat Islam harus kritis melakukan kroscek sejauh mana tingkat kehalalannya.

Erdy Nasrul/Ratna Ajeng Tejomukti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement