REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berita goyahnya ketahanan pangan dunia masih kita dengar hingga saat ini terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Ketahanan pangan di Indonesia yang masih rentan berbanding terbalik dengan impor pangan yang semakin meningkat oleh pemerintah Indonesia.
Data statistik FAO, Indonesia adalah produsen dan konsumen terbesar ketiga pada 2012. Data BPS Indonesia telah mengimpor beras sebesar 353,485 ton atau setara dengan USD 183,3 juta jika diakumulasi selama sembilan bulan sejak Januari sampai September 2011. Data impor beras menunjukkan Indonesia menjadi negara pengimpor terbesar nomor satu di dunia, sedangkan Vietnam, India, Thailand dan Pakistan menjadi negara pengekspor terbesar di dunia.
Ketergantungan beras impor Indonesia diperparah lagi dengan masuknya pangan antara lain beras, sebagai komoditi perdagangan bebas dunia yang berada di dalam lingkup perjanjian perdagangan bebas dunia. Keterlibatan Indonesia dalam perjanjian perdagangan bebas dunia tidak banyak berkontribusi terhadap keberhasilan kebijakan Pemerintah dalam memelihara dan menjaga kedaulatan di bidang Pangan.
Konferensi Tingkat Menteri WTO di Bali, yang diselenggarakan pada tanggal 3-7 Desember 2013, tetap saja tidak memberikan kontribusi maksimal kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mempertahankan subsidi pangan; sekalipun pada kisaran 10% karena “dihadang” oleh peace clause yang tidak adil bagi negara berkembang dan sangat berpihak pada negara maju.
Apalagi bagi Indonesia, menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009) menyebutkan, 100 dari 349 kabupaten memiliki kerentanan pangan. Sementara itu, negara Indonesia dalam menyediakan pangan kerap tergantung pada impor pangan.
Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian (2006), dari luas daratan Indonesia sebanyak 192 juta ha, kawasan budidaya yang berpotensi untuk pertanian sebesar 101 juta ha, dan lahan yang telah dibudidayakan baru 47 juta ha, sehingga 54 juta hektare masih berpotensi untuk perluasan area pertanian (sebagai catatan, sebagian besar luas areal yang berpotensi masih berada di kawasan hutan).
Konversi lahan budidaya tanaman pangan yang subur dan beririgasi teknis yang beralih menjadi peruntukan lain antara lain untuk pertanian nonpangan dan nonpertanian semakin meningkat. Tak hanya itu, luas lahan kritis akibat erosi, konversi lahan rawa (terutama ke bentuk budidaya tanpa mengindahkan konsep konservasi) semakin meluas. Isu yang paling kritis adalah penyusutan lahan sawah. Luas sawah yang ideal 15 juta hektare. Kini terjadi penyusutan dari 9 juta hektare yang ada, tinggal 7,1 juta hektare.
Selain data statistik mengenai kebijakan impor pangan dan kontribusi Perdagangan Bebas Dunia yang belum memberikan kontribusi maksimal terhadap khususnya Indonesia, Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) mengkonstatasi bahwa di dalam negeri, Pemerintah belum berhasil meningkatkan koordinasi dan sinergi kerja antara kementrian teknis terkait, pihak swasta dan pemangku kepentingan lain termasuk kelompok masyarakat tani.
"Kinerja yang belum sinergis ini pun disebabkan antara lain faktor peraturan perundang-undangan terkait belum harmonis untuk memperkuat landasan kinerja dan pertanggungjawaban yang transparan, partisipatif dan akuntabel”, ujar Direktur LPIKP, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, dalam rilis yang diterima ROL, Kamis (12/2).
Bertolak dari data dan fakta di atas, LPIKP yang didirikan pada tanggal 23 Agustus 2013, sekaligus merupakan peresmian berdirinya lembaga ini; menyelenggarakan Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus) mengambil tema “Kedaulatan Pangan: Memperkuat Kemandirian dalam Pembangunan Nasional di Era Globalisasi”, yang diikuti mayoritas para ahli ekonomi, ahli sosial-ekonomi pertanian, ahli hukum dan ahli politik.
Menurut Ketua Panitia Pengarah, Prof. Azwar Maas, diskusi diupayakan untuk dapat menjawab dua permasalahan, yaitu bagaimana arah kebijakan di bidang pangan nasional yang harmonis, sinergis dan berkelanjutan baik dalam wujud peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan implementasinya; kedua, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses pembuatan, aplikasi dan pengawasan kebijakan di bidang pangan; dan dari dua inti masalah diskusi, dikembangkan untuk (a) menemui kenali butir-butir kebijakan pangan yang bersifat lintas sektoral terkait sehingga dapat diketahui akar masalahnya baik dari tinjauan aspek ekonomi, politik dan hukum; (b) menemu kenali berbagai masalah yang bersifat kontemporer di bidang pangan dan (c) menghasilkan rekomendasi konkrit mengenai konsep kebijakan ke depan di bidang kemandirian pangan yang menjamin hak dan kesejahteraan rakyat yang dilandasi Kedaulatan Pangan.