Selasa 11 Feb 2014 07:55 WIB

Keringat Para Pengungsi Sinabung

Rep: Gilang Akbar Prambadi/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden SBY (keempat kiri) dan rombongan berbincang dengan pengungsi Sinabung, di lokasi pengungsian Masjid Agung, Kabanjahe, Karo, Sumut, Kamis (23/1).
Foto: Antara
Presiden SBY (keempat kiri) dan rombongan berbincang dengan pengungsi Sinabung, di lokasi pengungsian Masjid Agung, Kabanjahe, Karo, Sumut, Kamis (23/1).

REPUBLIKA.CO.ID, KABANJAHE- “Anak butuh untuk jajan, suami perlu buat rokok,” tutur Riahmaita (31 tahun) sesaat sebelum naik ke atas sebuh truk di pos pengungsian Sinabung, Karo, Sumatera Utara Senin (110/20). Ita, demikian ia biasa disapa mengatakan, di Senin siang itu ia bersama ratusan pengungsi lainnya akan pergi untuk dipekerjakan.

 

Pekerjaan sederhana namun sangat berguna bagi kantong dan kepenatan hatinya. Ia dan ratusan pengungsi yang sebagian besar adalah wanita hendak bekerja membersihkan jalanan.

 

Tak banyak yang Ita bawa untuk membekali dirinya guna menunaikan tugas. Satu buah ember, sebilah parang, sebotol air, dan sebungkus daun sirih untuk camilan menjadi perbekalannya. Ita bercerita, pekerjaan bersih-bersih ini biasa ia dan pengungsi lainnya di pos Losd Tigabinanga lakoni dari siang hingga sore hari.

 

Dari tempat pengungsian, mereka ‘merantau’  menuju lokasi yang harus dibersihkan. Jalanan, gedung-gedung pemerintahan, dan lahan kebun milik tuan tanah mereka bersihkan dari kotoran. Saat itu, erupsi Gunung Sinabung memang telah membuat wilayah di sekitarnya bak tong sampah berdebu.

 

Ita mengisahkan perjuangannya yang diberi upah Rp 50 ribu per hari ini. Meski wilayah Karo tengah dilanda kemarau, panas yang menghantam setiap senti kulitnya saat bekerja tak ia hiraukan. Di hari pertama bertugas November tahun lalu, tangis memang mengiringi setiap geraknya.

 

Ita yang hidup berkecukupun saat Sinabung ramah, kini harus berkeringat demi selembar uang berwarna biru. Tempat-tempat itu bahkan bukan tempat yang pernah ia atau suami dan anaknya kotori. “Sedih dan panas sekali waktu pertama itu, tapi lebih sedih lihat kantong kosong,” ujar Ita polos.

 

Wanita tambun ini mengatakan, uang yang ia dapat setiap harinya habis untuk keperluan anak dan suami. Anaknya setiap kali merengek jajan, sedangkan suaminya yang semakin hari tampak stress meminta jatah rokok. Bantuan memang mengalir deras ke pos pengungsiannya, tapi uang ia tak punya. Bagi dia dan pengungsi lainnya, rupiah masih tetap diperlukan sekalipun kebutuhan penunjang hidup sudah terpenuhi.

 

Selain itu, pekerjaan yang diprakarsai pemerintah setempat ini pun membuat dia dapat menyalurkan rasa kesal dan bosannya di pengungsian. “Saya babat habis ranting-ranting dengan tenaga penuh setiap bekerja, hitung-hitung melampiaskan bang,” kata dia.

 

Tiba-tiba suara tegas memotong perbincangan itu. Adalah Pratu Zeta yang memanggil nama ibu satu anak ini. Ita lantas bergegas naik ke dalam truk bersama pengungsi lainnya. Ceria, wajahnya tidak sama sekali muram seperti yang mungkin dibayangkan. Sebelum naik ke truk, Ita sempat berkelakar pada Republika dan mungkin itu menjadi dasar keceriaan wajahnya.

 

“Ya bang tiap hari kerja begini kan cape, jadi kadang kami malas-malasan saja ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang lain, tidak kerja, tapi enak, tetap dibayar, hehe, saya berangkat dulu mas,” ujar Ita menceritakan polah kecerdikannya.

 

Pratu Zeta anggota Kodim setempat mengatakan, program ini telah berjalan tiga bulan lamanya. Setiap pengungsi diberi kesempatan untuk ikut bekerja, setiap hari, 480 pengungsi dikirim ke daerah-daerah yang harus mereka bersihkan. “Mereka dibagi dalam 24 kelompok, berisi 20 orang per regu,” kata tentara muda ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement