Ahad 09 Feb 2014 20:11 WIB

Ada Surat dari Presiden, DPR Merasa Harus Membahas RUU KUHAP-KUHP

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
Fahri Hamzah
Foto: Antara
Fahri Hamzah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panja RUU KUHAP-KUHP Fahri Hamzah mengatakan, sudah ada surat dari presiden untuk meneruskan pembahasan di DPR. Karena itu DPR harus membahas RUU KUHAP-KUHP itu. 

Ia mengatakan, RUU itu sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Ini tuntutan zaman untuk menyempurnakan penegakkan hukum. Sebab penegakkan hukum itu harus semakin demokratis, tidak semakin otoriter," kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (9/2).

Fahri mengatakan, pembahasan memang sempat tertunda karena bermacam persoalan. Karena RUU KUHAP-KUHP merupakan proposal dari pemerintah. Setelah proposalnya dinilai memadai dan adanya surat dari presiden untuk melakukan pembahasan  maka prosesnya terus berlanjut. "Maka DPR harus membahas. Itu prosedur," ujar anggota Komisi III DPR itu.

Selama ini memang ada suara keberatan terhadap isi RUU KUHAP-KUHP dari pemerintah. Antara lain, dari KPK yang merasa tidak pernah dilibatkan dalam penyusunannya. 

Fahri mengatakan, semua itu merupakan domain dari pemerintah dan bagaimana memaknai UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan.

"Bagaimana pemerintah memahami apa posisi KPK. Sebagai kelembagaan apakah boleh atau tidak dilibatkan dalam penyusunannya," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Saat ini, menurut Fahri, RUU KUHP sebagai hukum materiil disepakati menjadi prioritas utama dalam pembahasan di DPR. Sementara hukum acaranya, RUU KUHAP, akan disusulkan. 

Mengenai poin penyelidikan yang menuai kritikan, menurut Fahri, masih belum dibahas lebih jauh. "Belum masuk dalam soal pembahasan penyelidikan dan sebagainya (hukum materiil)," ujar dia.

Dalam draft RUU KUHP juga disebut akan memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam tindak pidana umum. Sehingga UU Pemberantasan Korupsi tidak lagi lex specialis. 

Menurut Fahri, di negara maju, KUHP atau criminal code-nya terintegrasi dalam satu buku. Ia menilai itu harus menjadi perhatian. "Jadi ada dalam satu buku, tidak ke mana-mana," kata dia.

Mengenai poin penyelidikan itu, Fahri berpendapat, sebenarnya tidak dihapuskan. Melainkan diintegrasikan dengan penyidikan. Pendapat itu muncul karena melihat adanya ketidakpastian dalam penegakkan hukum selama ini.

Langkah itu juga untuk mengantisipasi 'permainan' dalam masa penyelidikan. "Supaya kalau betul sudah ada tersangka, masuk ke penyidikan, dan orang diberikan kepastian," kata dia.

Namun di sisi lain, muncul kritikan, tidak adanya tahap penyelidikan akan membuat aparat penegak hukum kesulitan dalam mengumpulkan bukti yang cukup terjadinya tindak pidana. Ini menjadi kendala bagi aparat. 

Misalnya KPK yang pada prosesnya tidak boleh menghentikan kasus (SP3). Menurut Fahri, untuk masalah itu masih terbuka ruang untuk perdebatan. "Perdebatannya nanti di situ. Sabar lah menunggu," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement