REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul
Harta yang haram tidak membawa keberkahan.
Konsumsi haram ternyata tidak terbatas pada hilir, tetapi juga menyangkut hulu. Bila proses pencarian harta tersebut menggunakan cara-cara yang haram, apa pun yang dikonsumsi ataupun dipakai dalam kesehariannya bisa dinyatakan haram.
Sebab, menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Ali Mustofa Yaqub, haram itu bukan hanya bersifat internal (lidzhatihi) lantaran mengandung unsur keburukan (khabits), atau terdapat zat berbahaya (dharar), baik membahayakan akidah, kesehatan jasad, jiwa, dan lainnya.
Apabila mengandung najis maka sesuatu bisa menjadi haram. Ada juga haram eksternal atau (lighairihi). Ini berkaitan dengan cara memperolehnya.
Pakar hadis ini menguraikan sejumlah kriteria proses perolehan rezeki yang bisa berakibat fatal, yakni keharaman harta yang diperoleh.
Antara lain, riba, judi, suap, merugikan atau menzalimi orang lain, penipuan (gharar), tidak terdapat unsur maksiat, dan bukan perkara haram. “Jika cara perolehannya tidak mengandung salah satu dari tujuh unsur tadi maka itu halal,” ujarnya.
Pengasuh Pesantren Daarussunah Ciputat, Tangerang Selatan, ini menjelaskan menjaga diri dari yang haram merupakan keharusan.
Ada tiga hikmah yang diperoleh berkaitan dengan larangan mengonsumsi yang haram. Mengonsumsi yang haram mengakibatkan ibadah tertolak.
Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Seorang musafir yang dengan kondisi memprihatinkan berdoa, tetapi doanya tidak terkabul.
Lantaran, kata Rasulullah SAW, pakaian yang dikenakan berdoa hasil dari perbuatan haram. “Jika doa yang inti ibadah saja tidak diterima apalagi lainnya,” kata Ali.
Selain itu, sanksi mengonsumsi perkara haram adalah api neraka. Hal ini seperti ditegaskan hadis riwayat Turmudzi. Rasul menyatakan, setiap kerak daging ditumbuhkan dari makanan haram maka tempatnya pasti neraka.
Analisisnya, daging yang seperti itu bahan bakunya haram. “Diajak ibadah berat, tetapi bermaksiat gampang,” ujarnya.
Ketua Forum Pemuda Lintas Agama KH Abdul Rojak menyatakan mencari rezeki halal berarti mencari sesuatu yang bermanfaat dan tidak menyalahi aturan saat mendapatkannya.
Sejumlah ayat Alquran dan hadis menyerukan keharusan mencari rezeki yang halal. Seperti, surah al-Baqarah ayat 168. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.”
Sedangkan, hadis Rasul riwayat Muslim dari Ibnu Miqdam menyatakan, tidak ada yang lebih utama dari apa yang dimakan, kecuali bersumber dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Menurut Sekretaris Umum MUI Tangsel ini, rezeki yang halal tentu membawa ketenangan bagi yang memanfaatkannya.
Penggunaan rezeki yang halal itu memunculkan rasa tenang, tidak takut, atau waswas. “Ini yang penting,” ujar Wakil Ketua Yayasan ar-Rahmaniyah ini.
Rezeki yang halal tentu akan membawa keberkahan. Berkah itu semakin bertambahnya rezeki. Rojak menyatakan, manfaat rezeki bukan terletak pada besar kecilnya, melainkan kehalalan dan keberkahan.
Rezeki yang tidak halal tidak akan membawa berkah. Harta hasil korupsi misalkan, pasti akan habis ketika diusut aparat penegak hukum.
Rojak menyatakan jika telanjur mengonsumsi yang haram maka harus dilihat keharamannya. Jika yang haram itu memang dari zatnya maka harus dimuntahkan ketika disadari makanan itu haram. Jika telanjur dikonsumsi, harus bertobat.
Jika barang yang dimanfaatkan adalah haram karena cara memperolehnya maka harus mendatangi pemiliknya. Kemudian, meminta maaf kepada pemiliknya. Setelah itu, bertobat. Ini penting karena yang haram ini besar dampaknya.