Kamis 06 Feb 2014 20:37 WIB

Komitmen Kapolri Soal Jilbab Diragukan

Anggota Polisi Wanita saat mengikuti peragaan pakaian dinas untuk Polwan berjilbab di Lapangan Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat (25/11). ( Republika/Yasin Habibi)
Anggota Polisi Wanita saat mengikuti peragaan pakaian dinas untuk Polwan berjilbab di Lapangan Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat (25/11). ( Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah/Fuji Pratiwi

Masyarakat bisa kian meyakini adanya Islamofobia di Polri.

JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah mempertanyakan komitmen Kapolri Sutarman mengenai jilbab polisi wanita (polwan). Sebab, sampai saat ini belum ada kejelasan terkait aturan pelaksanaan jilbab bagi polwan.

Semula, Polri memberikan izin penggunaan jilbab, tetapi kemudian mencabutnya kembali. Ketua MUI Amidhan mengatakan, kebijakan Polri yang menunda penggunaan jilbab polwan dan hingga saat ini masih tak jelas harus kembali dikritisi.

"Bagaimana kelanjutan penggunaan jilbab polwan tersebut? Apa Kapolri sengaja membiarkan isu jilbab polwan ini menguap?’’ tanya Amidhan, Rabu (5/2). Ia pun berjanji akan membawa kembali masalah ini di rapat internal pimpinan MUI dalam waktu dekat.

Kekecewaan MUI dan Amidhan ini cukup beralasan. Menurut Amidhan, Kapolri awalnya membolehkan menggunakan jilbab, tetapi, karena alasan yang sangat sepele, pembolehan jilbab tersebut ditunda. Mereka menunda dengan alasan akan membuat aturan demi keseragaman.

Namun, hingga sekarang aturan tersebut belum keluar juga. Ia meminta masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia, terus mengingatkan Polri. Mereka berutang kepada umat Islam, yakni aturan yang segera membolehkan polwan berjilbab baik di lapangan maupun kantor.

Secara terpisah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan, kalau terus-menerus tak ada kejelasan, akan semakin banyak prasangka terhadap Polri. Kemungkinan, masyarakat akan kian meyakini adanya Islamofobia di tubuh Polri.

Padahal, kata Yunahar, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim. Sosok yang memimpin Polri juga Muslim. Ini sangat ironis, negara berpenduduk mayoritas Muslim tetapi kebebasan dalam mengenakan jilbab terhalang.

Yunahar menegaskan, polwan mempunyai hak asasi untuk menjalankan keyakinan agamanya, yaitu berjilbab. ’’Bagaimana kita akan mengkritik diskriminasi Muslim di Eropa dan negara lainnya kalau di negara kita sendiri Muslimnya masih belum bebas menjalankan agamanya.’’

Sudah terlalu lama Kapolri membuat isu jilbab ini mengambang. Ini sudah berlarut-larut. Sebaiknya, ujar Yunahar, Kapolri bersikap terus terang saja, terbuka kepada umat Islam. Kalau memang mengizinkan, segera keluarkan izinnya.

Tetapi bila sebaliknya, Polri melarang jilbab polwan, katakan juga sejujurnya. Kalau memang mereka tak mengizinkan polwan mengenakan busana Muslimah, kata Yunahar, maka umat Islam juga semakin tegas sikapnya.

Selama ini, Polri menyatakan kepada DPR maupun umat Islam, aturan masih dalam proses pembuatan. Namun, belum ada titik terang mengenai aturan jilbab ini. “Sudah saatnya Polri menyatakan dengan terbuka sikapnya,’’ kata Yunahar menegaskan.

Sebelumnya, sebanyak 35 ormas Muslimah menyatakan kesiapannya untuk membiayai pengadaan jilbab polwan. Mereka menyampaikan kesanggupannya kepada MUI. “Ormas-ormas ini siap mengeluarkan biaya,’’ kata Wakil Sekjen MUI Welya Safitri.

Welya mengungkapkan, polwan sudah sangat ingin memakai jilbab saat bertugas. Ini merupakan ekspresi keyakinan yang mereka anut. Sebaiknya, ujar dia, tak terjadi polemik berkepanjangan mengenai jilbab polwan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement