Kamis 06 Feb 2014 17:31 WIB

Sleman Wajibkan Hotel Buat Sumur Resapan

Rep: Nur Aini/ Red: Djibril Muhammad
Sejumlah pekerja mengerjakan proyek sumur resapan di halaman depan Balai Kota, Jakarta, Senin (22/1).   (Republika/Agung Fatma Putra)
Sejumlah pekerja mengerjakan proyek sumur resapan di halaman depan Balai Kota, Jakarta, Senin (22/1). (Republika/Agung Fatma Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Rancangan peraturan daerah (raperda) Kabupaten Sleman tentang pengelolaan air tanah akan mewajibkan pengguna air tanah seperti hotel, apartemen, dan industri untuk membuat sumur resapan.

Langkah itu diambil untuk mempertahankan Sleman sebagai daerah resapan air di kawasan Yogyakarta.

DPRD Sleman saat ini tengah membahas raperda pengelolaan air tanah yang masuk dalam agenda program legislasi daerah 2014. Aturan itu akan mengganti perda no 13/2004 tentang perizinan air tanah.

"Perda lama tidak mengatur konservasi dan kompensasi bagi pengguna air tanah," ujar Wakil Ketua DPRD Sleman, Agus Mas'udi ditemui di DPRD Sleman, Kamis (6/2).

Dalam perda baru akan diatur pengguna air tanah dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Selain mengatur izin dan pemasangan meteran, pengguna air tanah diwajibkan membangun sumur resapan.

Agus mengatakan selama ini Sleman menjadi daerah resapan air yang mendukung ketersediaan air di wilayah Yogyakarta.

Pengelolaan air tanah dinilai penting untuk menjaga ketersediaan air permukaan. "Jika penggunaan air tanah tidak diatur, air permukaan akan turun ke dalam," ujar Agus.

Kondisi tersebut membuat pengguna air permukaan seperti rumah tangga akan kesulitan mengakses air.

Air tanah juga dinilai mendesak dikelola karena hotel dan apartemen semakin berkembang di Sleman.

Pengguna air tanah nantinya wajib memberi fungsi sosial kepada masyarakat sekitar. Dalam perda baru, pengguna air tanah wajib memberikan minimal 10 persen debit air untuk kepentingan masyarakat sekitar.

Pembahasan raperda air tanah tersebut telah masuk tahap kajian teknis. Agus mengaku tidak dapat memprediksi kapan raperda dapat disahkan. Namun, raperda pengelolaan air tanah diprioritaskan untuk selesai tahun ini.

Di sisi lain, wilayah resapan air di Sleman berkurang dengan masih luasnya lahan kritis setempat. Berdasarkan data Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Sleman menunjukkan lahan kritis setempat masih puluhan ribu hektar.

Di kawasan hutan, lahan kritis di Sleman mencapai sekitar 4096,34 hektar berdasarkan data dari 2012. Sementara lahan kritis di luar kawasan hutan masih di atas 36 ribu hektar.

Dengan kondisi tersebut, pemulihan lahan kritis di Sleman masih tergolong lambat. Pemulihan lahan sangat kritis menjadi kritis di Sleman pada 2013 hanya mencapai 76 hektar. Sementara, pemulihan lahan kritis menjadi potensi kritis mencapai 400-an hektare.

Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DP2K), Widi Sutikno mengatakan pemulihan lahan kritis penting untuk mengembalikan daerah resapan air.

Adanya erupsi Gunung Merapi pada 2010 telah menambah luasan lahan kritis di Sleman. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah Cangkringan kesulitan sumber mata air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement