Kamis 30 Jan 2014 21:08 WIB

Geliat Caleg Bermodal Tipis

Sejumlah calon legislatif sedang meneliti daftar caleg di KPU
Foto: Antara
Sejumlah calon legislatif sedang meneliti daftar caleg di KPU

REPUBLIKA.CO.ID, Sesekali sejumlah kawannya di penampungan sementara pedagang Pasar Rejowinangun Kota Magelang, Jawa Tengah (Jateng), menimpali pembicaraan perempuan itu dengan wartawan yang menemuinya di Blok A, deretan tempat dagangan yang mereka sebut sebagai rombeng. Suasana siang itu bisa dimaklumi sebagai nuansa khas kehidupan hangat dan meriah pasar.

Mereka saling omong dan sahut-menyahut dengan gembira, sembari menunggu penempatan berjualan kembali di pasar yang hampir selesai dibangun lagi oleh pemerintah kota setempat, setelah terbakar pada 26 Juni 2008.

Perempuan pedagang rombeng itu bernama Euthalia Toelastri (65 tahun). Berbagai barang dagangan yang dipajang di tempatnya berjualan yang siang itu relatif sepi pengunjung, antara lain, pakaian, sepatu, tas, dan aksesori. Di tempat produksinya di Kelurahan Gelangan, Magelang Tengah, istri mantan kepala polsek di satu wilayah pelosok di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Patrisius Soeparno (70) itu, menjadi perajin batik khas Magelang, pembuat kain penutup kasur, dan perajin kain perca.

Ia mengaku bahwa hidup perekonomiannya relatif sederhana. Setelah suaminya pensiun dari dinas kepolisian di Banyuwangi, pada 1994 mereka kembali ke kampung halaman di Kota Magelang. Pertemuan dengan kawan-kawan lama, sesama pegiat Sekretaris Bersama Golkar Kota Magelang pada era 1965-1966, membuatnya aktif lagi baik di partai itu maupun kehidupan organisasi masyarakat. Pada 1997 ia ikut Satgas Golkar dan kemudian menjadi anggota Seksi Pendidikan dan Keterampilan Partai Golkar Kota Magelang.

Jajaran pimpinan partai pun menarik perempuan tersebut untuk menempati nomor urut 7 calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 9 April 2014 untuk Daerah Pemilihan Kecamatan Magelang Tengah.

“Tapi garingan (tanpa uang --Red), apa adanya,” kata ibu tiga anak dan lima cucu itu.

Ia memastikan diri tak memiliki kekuatan gemerincing uang untuk mendapatkan kursi legislatif, apalagi kalau harus menggelar praktik politik uang. Meskipun demikian,

Toelastri juga menghitung-hitung butuh total biaya ideal sekitar Rp 10 juta untuk mendapatkan 2.500 suara agar mendapat kursinya dari dapil dengan enam kelurahan itu. Ia memastikan tak mampu mendapatkan uang Rp 10 juta itu untuk kekuatan meraih kursi dewan.

“Uang yang keluar baru Rp 210 ribu untuk cetak kartu nama dan fotokopi-fotokopi. Tidak ada yang bantu, apalagi tawaran dari pengusaha. Saya tidak mau berutang, apa adanya saja, dengan sowan ke pertemuan-pertemuan warga, saya menawarkan memperjuangkan perempuan dan anak putus sekolah, program pelatihan keterampilan untuk berusaha,” ujarnya memaparkan.

Optimisme bahwa masih banyak warga pemilih yang antipraktik politik uang juga lekat menghinggap Sholahuddin (34), seorang caleg nomor urut 2 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk Daerah Pemilihan Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, yang meliputi lima kelurahan. Tekadnya untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil rakyat hanya bermodalkan jaringan selama menjadi wartawan di beberapa media cetak selama 10 tahun terakhir.

Namun, terhitung sejak Agustus 2013 hingga Januari 2014, biaya sekitar Rp 30 juta dari tabungan pribadi telah dikeluarkan untuk berbagai keperluan dirinya sebagai caleg, seperti uang transportasi puluhan relawannya, biaya komunikasi, dan uang saku relawan. Total kebutuhan hingga hari pemilihan mendatang sudah diperkirakannya bakal membutuhkan sekitar Rp 60 juta. “Kalau tanpa politik uang, bisa mencapai Rp 60 juta idealnya. Tetapi untuk urusan politik, saya tidak mau punya utang. Kalau deal politik, saya siap, tetapi bukan utang pribadi,” katanya.

Sejumlah kawannya selama ini, ujarnya, tanpa embel-embel transaksional, dengan suka hati membantunya dalam perjuangannya sebagai caleg. Bantuan dari mereka itu, antara lain, berupa pencetakan kartu nama, stiker, alat peraga, dan kalender untuk dibagikan kepada masyarakat melalui berbagai pertemuan kultural yang dirawatnya, seperti shalawat, tahlilan, yasinan, dan pengajian.

“Kami mengedepankan pendidikan kesadaran politik kepada warga. Bahkan, kami persilakan warga untuk memilih yang memang benar-benar layak duduk di kursi dewan,” katanya.

Praktik politik uang oleh para caleg, terutama selama masa kampenye pemilu, menjadi perhatian serius Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Magelang. “Semua kalangan diharapkan ikut mewaspadai dan menghindarinya,” ujar Ketua Panwaslu Kota Magelang Zuhron Arofi.

Hingga saat ini, pihaknya belum menemukan atau mendapatkan laporan praktik politik uang, terkait dengan berbagai tahapan pesta demokrasi di daerah setempat. “Sebatas isu, kami mendengar itu. Tetapi kalau tidak ada bukti, laporan, atau temuan langsung, hal itu tidak bisa diproses karena politik uang ini masuk kategori pelanggaran pidana pemilu,” kata Zuhron yang juga pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu.

Toelastri dan Sholahuddin, mungkin dua di antara para caleg lainnya yang turun ke gelanggang pesta demokrasi dengan mengandalkan komitmen diri sebagai petarung tanpa gemerincing dalam hiruk pikuk politik saat ini. n antara ed: muhammad fakhruddin

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement