Ahad 26 Jan 2014 08:44 WIB

Waspadai Penularan Diare di Sleman

Rep: Nur Aini/ Red: Djibril Muhammad
Penyakit diare (ilustrasi).
Foto: xamthon.net
Penyakit diare (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kasus diare di Sleman menjadi perhatian Dinas Kesehatan setempat selama musim penghujan di awal tahun. Jumlah temuan kasus diare di Sleman relatif tinggi tahun lalu.

Selama musim hujan, Dinkes Sleman mewaspadai sejumlah penyakit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), leptospirosi, diare, dan infeksi pernapasan atas. Dari catatan tahun sebelumnya, kasus diare di Sleman tercatat relatif tinggi dengan 9.700 kasus hingga November 2013.

Penderita diare di Sleman lebih banyak berasal dari anak-anak hingga usia dewasa yang mencapai 7.010 orang. Sementara, penderita diare pada balita selama 2013 mencapai 2.695 orang.

Menurut Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinkes Sleman, Novita Krisna, penyebab diare tidak hanya karena infeksi. Makanan dan stres juga dapat menyebabkan diare. Namun, penyebab diare paling umum adalah infeksi yang disebabkan kuman karena perilaku tidak bersih.

Sumber air yang tidak bersih turut menyumbang penyebab diare di Sleman. "Air sumur tercemar karena dekat dengan septic tank dan kebiasaan buang air besar sembarangan dapat menyebabkan diare," ungkap Novita, Sabtu (25/1).

Air tanah di Sleman dari uji kualitas Dinas Kesehatan menunjukkan peningkatan pencemaran bakteri.  Pencemaran bakteri meningkat dari 47,63 persen pada 2012 menjadi 51,21 persen pada 2013.

Dinas Kesehatan melakukan uji kualitas air sepanjang Januari-Oktober 2013. Dari 5.270 sampel air, hanya sekitar 48,79 persen yang memenuhi syarat bakteriologi.

Pencegahan penularan diare dapat dilakukan dengan mempratekkan hidup bersih. Cuci tangan sebelum makan dinilai Novita merupakan salah satu cara efektif mencegah penularan diare. "Perilaku hidup sehat  dan bersih perlu dipahami dan dipraktekkan di masyarakat," ujarnya.

Selain diare, penularan DBD masih diwaspadai di Sleman. Hal itu menyusul ditemukannya 723 kasus DBD dengan tiga orang meninggal dunia di Sleman selama 20113. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada 2012 yang mencapai 236 kasus DBD yang mencatat tidak ada penderita meninggal dunia.

Wabah DBD di Sleman telah menyebar ke hampir semua kecamatan. Pada 2013, wilayah Cangkringan telah ditemukan enam kasus DBD. Padahal, tahun sebelumnya tidak ada temuan kasus DBD di Cangkringan.

Penularan DBD dinilai perlu diwaspadai setelah masih ada penderita yang meninggal dunia. Novita mengatakan penderita DBD yang meninggal dunia bisa disebabkan minimnya pengetahuan pasien. Hal itu membuat pasien telat berobat dan tidak tahu bagaimana mencegah DBD.

Pasien DBD yang meninggal dunia juga bisa dipicu tidak tepatnya diagnosis layanan kesehatan terhadap pasien. Ciri khas penyakit DBD adalah demam sehingga saat pasien berobat dini masih belum dapat diketahui gejala DBD.

"Saat pasien pulang dari fasilitas kesehatan dan sakit berlanjut tidak segera ke dokter, sehingga penanganan bisa terlambat," ungkap Novita.

Untuk mencegah penyebaran DBD lebih lanjut tahun ini, Dinas Kesehatan mengandalkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara rutin. "Gerakan masyarakat PSN harus teratur dan terus menerus untuk melihat jentik secara berkala," ujar Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Mafilinda Nuraini.

Selain PSN, Dinkes memonitor wilayah endemis tinggi DBD. Sebanyak 12 lokasi menjadi sasaran monitor rutin. Meski banyak kasus DBD, Sleman belum menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). "Kami selalu mengelola secara KLB tiap ada satu kasus di lapangan," katanya mengungkapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement