Jumat 24 Jan 2014 06:00 WIB

Jokowi Kebanjiran, Jokowi Tetap Populer

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Tak salah jika ada yang menyebut Jokowi sebagai “Man in Action”, orang yang bertindak. Bahasa jawanya “blusukan”. Sebuah kosa kata Jawa yang kini menasional. The New York Times mengulas khusus soal Jokowi 'yang berumah di jalan”, walaupun masih belum memasukkan istilah blusukan. Sejumlah diplomat dan peneliti asing juga sudah banyak yang mendampingi Jokowi untuk blusukan. Kini, di saat rutinitas banjir mendera Jakarta setiap bulan Januari, Jokowi makin rajin blusukan. Fotonya yang merayapi pembatas jembatan penyeberangan dipasang menjadi status facebook para pendukungnya. Bukan merayap dari sisi, tapi dari atas. Persis seperti memanjat pohon kelapa.

Spontanitas, kegesitan, dan kesungguhannya untuk segera berada di tengah-tengah situasi di lapangan membuat dirinya tetap melekat di hati publik. Banjir Jakarta saat ini tak membuat dirinya menjadi bulan-bulanan. Publik melihat Jokowi telah bekerja. Selama lebih dari setahun kepemimpinannya sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi giat mengeruk sungai, selokan, dan danau. Ada dua kisah untuk ini. Pertama, soal pembiayaan pengerukan sungai. Ia harus bersitegang dengan Bank Dunia. Lembaga keuangan itu banyak mengajukan persyaratan, termasuk soal konsultan serta sejumlah hal lain yang menjadi kewenangan gubernur. Istilah jelasnya, Bank Dunia ingin banyak intervensi dan mengatur – sebuah kebiasaan yang wajar di Indonesia dan merupakan salah kaprah. Namun Jokowi menolak dan mengancam tak menggunakan dana Bank Dunia. “Sisa APBD tahun sebelumnya saja masih lebih banyak,” katanya, suatu ketika.

Kedua, ia harus merelokasi sekitar 7.000 orang di sekitar Waduk Ria Rio, Pluit, Jakarta Utara. Hal ini menimbulkan ketegangan yang relatif panjang. Apalagi menyangkut ribuan orang. Bahkan ditimpali pengakuan hak atas tanah di sebagian kawasan itu oleh keluarga almarhum Adam Malik, mantan wakil presiden dan tokoh penting dalam perjuangan Republik. Namun Jokowi terus jalan dan berhasil mengatasi semuanya.

Namun kritik tetap saja bermunculan terhadap Jokowi. Salah satunya misalnya, masalah pengerukan sungai, selokan, dan waduk itu cukup diurus bawahannya. Gubernur cukup memberi perintah. Tugas gubernur adalah membuat keputusan dan mengeksekusi hal-hal yang lebih strategis. Harus diakui, dalam satu tahun ini, belum ada ide dan konsep besar yang secara sungguh-sungguh digagas Jokowi dalam mengatasi banjir ini. Yang dilakukan Jokowi hanyalah hal-hal rutin. Ide-ide besar soal ini justru sudah dikemukakan dan atau dilaksanakan gubernur sebelumnya. Sutiyoso untuk Kanal Banjir Timur dan Fauzi Bowo untuk Great Sea Wall. Yang sudah dikemukakan hanyalah lontaran-lontaran ide yang berlepasan begitu saja, misalnya waduk-waduk kecil di sepanjang Ciliwung ataupun waduk-waduk besar di Bogor. Lalu ide besar atau ide kecil apa untuk penyelesaian komprehensif soal banjir ini yang bisa dilakukan dan berada dalam kewenangan Jokowi? Itulah pertanyaan publik yang mendasar untuk Jokowi.

Satu tahun memang bukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan masalah banjir Jakarta yang sudah menjadi akut. Ia menyangkut banyak hal, mulai tata ruang hingga sistem drainase. Butuh penyelesaikan menyeluruh. Kewenangan juga tak semua ada di Jakarta tapi ada di pemerintah pusat. Hal-hal yang berada di tangan pusat misalnya soal pengelolaan Sungai Ciliwung ataupun gorong-gorong di jalan nasional. Bahkan sempat ada polemik antara Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum soal gorong-gorong yang ambles di Jalan TB Simatupang.

Banjir Jakarta tahun ini merupakan ujian buat Jokowi. Apakah dia akan menjadi seorang pemimpin bervisi besar yang dicintai rakyatnya atau dia hanya seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya tanpa visi besar. Namun para lawan politiknya jangan berharap bahwa banjir tahun ini akan membuat Jokowi terhapus dari rak penyimpanan di hati publik. Banjir Jakarta tak banyak berpengaruh. Ia tetap seorang man in action lewat blusukannya. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk memenangkan hati rakyat. Ini karena para pemimpin lainnya hanyalah orang-orang yang elitis yang cuma utak-atik statistik dari balik meja dan utak-atik duit untuk mendongkrak statistik.

Tak salah jika Jokowi menyebut blusukannya sebagai “demokrasi jalanan”. Ia mengecek kebijakannya langsung di lapangan dan sekaligus menjemput aspirasi rakyatnya. Ia mengubah pengertian awam tentang demokrasi jalanan sebagai aksi demo yang massif dan tak kenal lelah. Demokrasi jalanan adalah blusukan. Dengan demikian, banjir Jakarta tak mengubah apapun untuk persaingan kontestasi presiden pada 2014 ini.

Aksi boikot diam-diam para pejabat pusat maupun para pesaingnya dalam memperhatikan banjir Jakarta justru merupakan kemenangan Jokowi. Kita tentu sedih melihat kenyataan ini. Jakarta masih akan tetap terkena banjir untuk tahun-tahun mendatang. Semua terjebak pada rutinitas dan popularitas. Tak ada visi besar, tak ada pemimpin besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement