REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Setiap kali banjir, Tuty Komala Bintang (53 tahun) dan keluarganya siaga dengan membuka sodetan agar air segera mengalir keluar. Ia pun berencana membangun lebih banyak biopori mengingat volume air hujan yang tampaknya semakin meningkat.
"Cara-cara klasik selalu berhasil, meskipun agak merepotkan. Masalahnya, semua orang maunya instan. Susah. Masyarakat harus benar-benar dibuat paham beragam cara mencegah banjir yang baik dan benar," " katanya, Senin (13/1).
Sudah lebih dari 10 tahun perempuan dengan tiga orang anak ini akrab dengan banjir. Rumahnya di Perumahan Nasional (Perumnas) II Karawaci, Tangerang, kini tak mampu lagi menampung air yang tumpah dari jalanan yang lebih tinggi dari rumah. Rumah Tuty lebih rendah 30 centimeter dari jalanan.
Ketika pindah ke lokasi tersebut tahun 1989, rumahnya masih bebas banjir. Namun ketika marak pembangunan rumah pada tahun 1999, Perumnas II sedikit-demi sedikit dihampiri banjir.
Saat itu rumah Tuty belum kebanjiran. Ketika membangun rumah, ia meninggikan bangunannya 20 cm dari jalanan. Tidak seluruh lahan ia habiskan untuk pembangunan rumah. Ada dua buah halaman di depan dan di belakang rumah yang disisakan untuk berkebun. Di musim penghujan, kebun kecil itu menampung air hujan agar tidak sampai masuk rumah. Di musim kemarau, pohon-pohon menaungi rumahnya agar tidak terlalu panas.
Namun banjir kembali menjadi ancaman kala masyarakat di sekitar rumahnya berkali-kali meninggikan jalanan. Semakin lama, masyarakat yang telah lama tinggal di tempat itu tidak mampu mengikuti tingginya jalan. Pada tahun 2003, Tuty menolak jalanan di depan rumahnya ditinggikan. "Akhirnya jalanan di rumah saya lebih pendek 30 cm dari jalanan tetangga. Kalau kata anak-anak saya seperti skate-park," katanya sambil tertawa.
Penolakan Tuty ini mendapat kecaman dari warga setempat. Selama dua tahun lebih, Tuty mencari strategi agar banjir tidak semakin merepotkan dirinya dan keluarga. Ia pun mendengar anjuran pemda untuk membuat lubang-lubang biopori di setiap rumah. Setelah mencari tahu lebih jauh tentang biopori, ia pun membuat enam buah lubang di rumahnya. Tuty juga membangun sodetan untuk mengeluarkan air dengan cepat dari rumah ke luar.
Sebagai perbandingan, iuran untuk meninggikan jalanan pada tahun 2008 sekitar Rp 1,5 juta per rumah. Apabila membangun biopori, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 3.000 per lubang biopori, ditambah dengan upah pekerja. Ia juga tengah membangun sistem septitank yang baik agar air dari kamar mandi tidak meluap.
Rumah Tuty juga menjadi satu dari sedikit rumah di daerahnya yang masih memiliki got yang lancar. Setiap bulan got tersebut dibersihkan. Walaupun kini "skatepark" sudah hilang, namun rumah Tuty relatif tidak bertambah kadar banjirnya. Ia juga memasang pompa air eletronik yang akan mengeluarkan air dari dalam rumah agar langsung mengalir ke got. "Memang kelihatanya merepotkan dan makan biaya, tapi akan bermanfaat ke depan," katanya.