Ahad 12 Jan 2014 21:21 WIB

PKB PII Khawatirkan PKI Menyusup di Pemerintahan

Rep: Ahmad Baraas/ Red: Julkifli Marbun
Pelajar Islam Indonesia
Foto: PII
Pelajar Islam Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI - Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PKB PII) Karasidenan Kediri, Jawa Timur, Ahad (12/1) menggelar kegiatan Refleksi 49 Tahun Teror Partai Komunis Indonesia (PKI) di Desa Kanigoro. Dalam kegiatan yang diikuti sekitar 500 peserta itu, tercetus kekhawatiran akan bangkitnya kembali PKI di Indonesia. Kegiatan diikuti dengan pembacaan deklarasi.

"Ini bukan hal yang mengada-ada, tapi fakta," kata Direktur Centre for Indonesian Communities Studies, Arukat.

Refleksi yang diisi dengan seminar tentang kebangkitan kembali PKI, menghadirkan sejumlah pembicara, yakni mantan Dirjen Kesbangpol Depdagri, Mayjen Sutoyon MK (Purn), mantan pejabat BIN, Husni Sutikno, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Prof Dr Muhajir Efendi. PKB PII menyelenggarakan kegiatan bekerjasama dengan CICS. Acara dilangsungkan di Madrasah Tsnawiyah Negeri, Desa Kanigoro, Kecamatan Keras, Kabupaten Kediri, dihadiri pejabat pemerintah sipil dan militer setempat.

Teror PKI di Desa Kanigoro terjadi pada 13 Januari 1965, saat dilangsungkannya kegiatan mental training Pelajar Islam Indonesia (PII). Saat pelatihan PII berlangsung, segerombolan orang-orang PKI dari Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang dipimpin oleh Ketua Pemuda Rakyat Kediri, Suryadi, menyerbu asrama mental traning PII. Orang-orang PKI itu juga menginjak-injak ruangan masjid dengan sepatu, merobek-robek dan menginjak-injak Al Quran.

Ketua PKB PII Karasidenan Kediri, Ibrahim (70) mengatakan, teror PKI di Kanigoro oleh antek-antek PKI dinamakan sebagai pemanasan atau senam revolusi dan akhirnya peristiwa pemberontakan PKI meletus pada 30 September 1965. Ibrahim dan istirinya, adalah dua dari puluhan peserta mental training PII yang diteror oleh PKI. "Perlakuan PKI sangat keji, mereka memprovokasi dan menjadikan kegiatan PII sebagai target latihan mereka untuk melakukan revolusi," katanya.

Menurut Arukat, kebangkitan kembali PKI di Indonesia tidak menggunakan strategi revolusioner ala Maucetung. Tetapi mereka menggunakan strategi baru yakni senjata politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. PKI sebut Arukat, memperjuangkan kebangkitannya, dengan masuk ke lembaga-lembaga pemerintahan dan juga lembaga wakil rakyat. "Karena itu sejumlah produk hukum, telah menimbulkan khawatirkan dapat dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan-tujuannya," kata Arukat.

Diantara produk hukum yang dimaksudkan Arukat adalah dicabutnya UU Pemilu nomor 12 tahun 2003 melalui Mahkamah Konstitusi. Dimana dalam pasal 60 huruf G dinyatakan syarat menjadi anggota DPR bukan dari eks PKI. Dengan dihapusnya pasal itu, maka untuk menjadi anggota DPR boleh darimana saja, termasuk dari PKI.

 

Yang paling mutakhir sebut Arukat, pada 12 Desember 2012,  Mahkamah Agung memenuhi tuntutan mencabut Keppres nomor 28 tahun 75 tentang Penghapousan Golongan C PKI. Konsekwensinya kata Arukat, eks PKI golongan C, bisa mengajukan kompensasi kepada negara, terutama mereka yang dulu PNS dipecat karena terlibat PKI.

"Tapi hal itu tergantung pada presiden. Karenanya kami merekomendasikan agar Presiden menolak pencabutan Keppres itu, sebab konskewnsinya panjang," kata Arukat.

kegiatan Refleksi 49 tahun Teror PKI di Kanigoro juga merekomendasikan agar DPR/MPR tetap mempertahankan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966, tentang larangan PKI dan oramas-ormasnya. Kepada Polri dan kejaksaan diminta untuk melaksanakan secara konsekwen UU nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berhubungan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Dalam pasal 107 a, disebutkan, siapa pun yang memperjuangkan hidupnya PKI dan fahamnya, dikenakan sanksi minimal 12 tahun.

"Kami mendukung perubahan itu dmiasukkan dalam pasal 22 pada KUHP yang baru, tapi belum disahkan oleh DPR," kata Arukat.

Arukat juga meyoroti UU tentang Desa yang disahkan DPR belum lama ini, dimana negara menganggarkan Rp 1 milyar untuk setiap desa dalam setahun. Bukan hanya akan menyedot APBN triliunan rupiah, tapi dana itu juga rawan memunculkan penyalahgunaan anggaran di tingkat desa, serta munculnya konflik di masyarakat untuk perebutan jabatan kepala desa.

Menurut Arukat, dia bisa mengerti, mengapa fraksi-fraksi di DPR membiarkan UU itu lolos, karena mereka takut disebut anti pembangunan desa. Karena itu pula, UU itu tidak mungkin dibatalkan, dan kalau dibiarkan turun tanpa pengawasan, akan menjadi masalah baru. Dia menyebut, kalau di seluruh desa terjadi penyimpangan, apakah KPK dengan tenaga yang terbatas, bisa menangani kasus itu. "Ini harus betul-betul diawasi, jangan sampai dijadikan tunggakan PKI untuk mengacaukan negara," kata Arukat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement