Sabtu 11 Jan 2014 07:09 WIB

Indonesia Butuh Pemimpin yang Tolak Impor

Kontainer berisi barang Impor kategori B3
Foto: Suara Pembaruan
Kontainer berisi barang Impor kategori B3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkomitmen mengurangi impor secara masif.

"Saya kira, cetak biru kepemimpinan pasca-Susilo Bambang Yudhoyono harus mempunyai tekad penguatan produktivitas nasional, dan pengurangan yang masif impor kita," kata Sosiolog dari Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina, M.Si di Jakarta, Sabtu (11/1).

Ia menegaskan, Indonesia dikenal sebagai negara agraris sekaligus negara maritim. "Akan tetapi kita merupakan salah satu negara pengimpor besar untuk kedua sektor tersebut," ucapnya.

Contoh yang paling kecil, adalah untuk pisang saja nilai impor Indonesia naik 300 persen Tahun 2013. "Sungguh ironis sekali, seolah-olah petani kita tidak mampu untuk menanam pisang," kata anggota Kelompok Peneliti Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Jika mengingat pesan para pendiri bangsa, khususnya Mohammad Hatta, bila Indonesia mengandalkan impor dari negara lain, berarti telah dengan sukarela menggantungkan nasib terhadap negara luar.

Dari pengamatannya terhadap calon-calon pemimpin pasca-Presiden SBY, khususnya para gubernur, hanya Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang punya kemauan kuat menentang impor dan memperkuat ekonomi nasional.

"Kita lihat kasus Tahun 2010, Gubernur Jatim lantang menentang kebijakan impor beras yang diambil oleh pemerintah pusat, dan di tahun itu juga Jatim mengalami surplus pangan/beras," katanya.

Menurut Nia Elvina, yang juga Sekretaris Program Sosiologi Unas, dari sekian banyak pandangan yang diberikan oleh kalangan politisi, pegiat LSM, ormas maupun dari kalangan akademisi sendiri mengenai pemimpin pasca-SBY masih terpusat pada hal-hal mikro.

"Dan belum menyentuh pada hal-hal makro yang merupakan fundamental dalam menentukan masa depan Indonesia ke depan," katanya.

Ia mengatakan, belum ada yang melihat kecenderungan inflasi Indonesia yang besar, di mana dari data Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun 2012 ke 2013 inflasi naik tajam.

Pada 2012, katanya, inflasi 4,30, sedangkan 2013 naik menjadi 8,38. "Jika kita tilik lagi lebih mendalam, hal ini disebabkan oleh tingginya kesenjangan ekspor-impor kita," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement