REPUBLIKA.CO.ID, KOTABARU -- Pemkab Kotabaru, Kalimantan Selatan, meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, untuk memberikan izin ekspor besi sinter kepada PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), menyusul akan diberlakukannya Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Kabid Pertambangan Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, M Zen, Selasa, mengatakan, beberapa waktu lalu Bupati Kotabaru H Irhami Ridjani sudah mengirimkan surat permohonan dukungan ekspor besi sinter kepada menteri Koordinator Perekonomian RI.
"Permohonan yang diikuti dengan beberapa pertimbangan tersebut terkait akan diberlakukannya Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pada 12 Januari 2014, yang melarang perusahaan mengekspor hasil tambang dalam bentuk mineral (tanpa diolah)," katanya.
Menurut Zen, sudah selayaknya pemerintah pusat mempertimbangkan permohonan Pemkab Kotabaru, karena PT SILO sudah sangat serius menyikapi UU No.4/2009, dengan berencana membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (Smelter) di Pulau Sebuku, Kotabaru.
Namun pembangunan pabrik tersebut saat ini belum selesai dan perusahaan sangat serius untuk segera menyelesaikan pembangunan pabrik smelter di Pulau Sebuku.
Berbeda, lanjut Zen, dengan perusahaan besar lainnya dan sudah melakukan aktivitas hingga puluhan tahun tetapi kenyataannya belum membangun pabrik smelter.
Dengan niat baik dan usaha keras PT SILO untuk membangun pabrik tersebut, lanjutnya, pemerintah pusat diharapkan berkenan untuk mempertimbangkan permohonan pemerintah daerah dan perusahaan.
Permohonan dukungan ekspor besi sinter tersebut tertuang dalam surat Bupati Kotabaru No.545/1102-BP/DPE 11 Desember 2013.
Sebelumnya, Direktur Operasional PT SILO Henry Yulianto, mengatakan, ekspor bijih besi asal Kabupaten Kotabaru, yang selama ini dilakukan oleh perusahaan yang dipimpinnya terancam dihentikan, karena kebijakan pemerintah melarang ekspor hasil tambang itu terhitung Januari 2014.
Apabila aturan pelarangan ekspor bahan mineral itu tidak diubah atau ditunda pemberlakuannya, maka pertengahan Januari SILO bisa menghentikan ekspor bijih besi.
"Itu artinya, akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK), terhadap karyawan PT SILO," jelas Henry.
Ia sangat berharap, pemerintah bisa menunda pemberlakuan Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, karena SILO belum siap melakukan pemurnian biji mineral disebabkan beberapa faktor.
Di antaranya, pembangunan pabrik pengolahan bijih besi smelter di Pulau Sebuku, baru dilaksanakan tahap pertama dan masih ada tahap berikutnya.
Selain persoalan kesiapan pabrik smelter, banyaknya karyawan PT SILO dan karyawan sub kontraktor yang hidupnya menggantungkan kepada perusahaan, juga harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk menunda pemberlakuan UU.4/2009.
Karena jika aturan tersebut benar dilaksanakan, SILO akan melakukan penghentian produksi, artinya perusahaan bisa tutup dan terjadi PHK.
Henry menjelaskan, PT SILO yang menargetkan produksinya rata-rata 10 juta ton per tahun, hingga saat ini baru mampu memproduksi bijih besi rata-rata 6-8 juta ton per tahun.