REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —- Polemik di antara sejumlah menteri dalam kasus kenaikan harga elpiji 12 kg menunjukkan para menteri sudah tidak lagi berkonsentrasi kepada kepentingan nasional. Para menteri sudah memikirkan kepentingan politik masing-masing.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor mengatakan, menjelang akhir pemerintahan SBY ini, fokus menteri-menteri di kabinet memang sudah tidak seragam. “Arah pemikiran mereka tak lagi mengutamakan kemaslahatan rakyat, karena sudah bercampur dengan kepentingan politik masing-masing,” kata Firman, Senin (6/1).
Masalah kenaikan harga elpiji ini termasuk hal yang sangat krusial lantaran menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, hal ini justru luput dari perhatian pemerintah, terutama menteri-menteri terkait semisal Menteri ESDM, Menteri Koordinator Perekonomian, dan Menteri BUMN. Bahkan di antara mereka sempat saling tuding soal siapa yang mesti bertanggung jawab atas persoalan ini.
Menurut Firman, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal semacam itu terjadi. Pertama, para menteri yang bersangkutan memiliki agenda dan kepentingan politik terkait Pemilu 2014. Dua dari tiga menteri itu, kata dia, merupakan tokoh kunci di parpolnya masing-masing.
Di tahun politik sekarang ini, mereka tentunya lebih memilih untuk menyelamatkan atau melindungi citra partainya, daripada mengambil tanggung jawab dalam urusan kenaikan harga elpiji. “Padahal masalah ini sebenarnya adalah bagian dari kewenangan mereka,” imbuhnya.
Kedua, lanjut dia, koalisi para menteri tidak dibangun dengan solid sejak awal terbentuknya kabinet. Akibatnya, sering terjadi miskomunikasi di antara mereka saat menghadapi berbagai persoalan. “Kasus seperti ini sudah berulangkali terjadi. Dulu juga pernah ada kejadian menteri-menteri saling bantah,” ujarnya.