REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta daerah mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 74 Tahun 2013 tentang peredaran minuman keras (miras). Pemerintah kabupaten/kota juga harus memperhatikan kultur dan tradisi adat setempat.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Restuardy Daud mengatakan, idealnya peredaran miras memang harus mempertimbangkan kondisi wilayah dan lokasi pariwisata. Namun, bukan berarti memberikan legalitas atau batasan peredaran minuman tersebut.
“Perpres itu mengantur pengendalian dan pengawasan, dan nantinya akan sinkronisasi dengan peraturan daerah (perda),” kata Ardy pada Republika di Kantor Kemendagri, Kamis (2/1).
Pihaknya akan mengacu pada Perpres untuk melakukan klarifikasi terhadap perda yang mengatur peredaran miras. Regulasi tersebut tetap berlaku, miras diizinkan masuk di lokasi dan tempat tertentu.
Hanya saja pemerintah daerah (pemda) diberikan kewenangan spesifik mengaturnya. Seperti halnya di Bali, lokasi wisata yang banyak dikunjungi turis, dimana miras menjadi konsumsi mereka. Kemudian di Indonesia bagian timur, banyak acara adat yang menggunakan miras bagian dari ritualnya.
“Sedangkan di Aceh, daerah yang kuat asas keislamannya, miras bisa saja dibatasi. Hanya untuk tempat yang diberikan izin seperti hotel dan kawasan duty free tetap boleh beredar,” ujar dia.
Perpres tersebut tentunya harus ditaati meskipun kepala daerah ataupun dinas perdagangan perindustrian terkait mempunyai regulasi tertentu. Menurut Ardy, perpres merupakan aturan umum, sedangkan perda membatasi secara khusus sesuai kondisi daerah.
Sebelumnya Presiden SBY menerbitkan Perpres No. 74 Tahun 2013 tentang peredaran miras. Peraturan tersebut menyusul putusan Mahkamah Agung Nomor 42P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 yang menyatakan, Keputusan Presiden No.3 Tahun 1997tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagai tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum.