REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Guru Republik Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali ujian nasional, karena dalam setiap pelaksanaannya selalu menuai kontroversi.
"Sejak awal PGRI menilai pelaksanaan UN menuai banyak kontroversi, dan tahun 2013 adalah puncak kekacauan UN," kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo kepada wartawan di Jakarta, Jumat (27/12). Meski memunculkan kekisruhan pelaksanaan UN di beberapa daerah, kata dia PGRI menyayangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bersikukuh amburadulnya UN akibat kesalahan teknis.
Lebih lanjut ia mengatakan UN yang dibuat oleh banyak pakar itu tahun ini pelaksanaannya sangat kacau. Lembar UN terlambat diterima peserta UN membuat peserta UN tak bisa melaksanaan UN sesuai jadwal. PGRI yang sejak awal kurang merespons positif UN karena dinilai pelaksanaanya tidak berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dampaknya UN jauh dari harapan bahkan lebih buruk, kata Sulistiyo.
PGRI mendukung kebijakan baru dari Kemdikbud yang meniadakan ujian nasional di tingkat sekolah dasarn katanya. "PGRI mendukung kebijakan itu asal dibarengi dengan menyiapkan guru dengan baik. Jangan sampai terjadi adanya sistem baru tetapi tidak memiliki makna yang baik terhadap upaya peningkatan pendidikan nasional," katanya. Dengan dihapusnya UN sekolah dasar akan meningkatkan peran guru dan sekolah di daerah, katanya.
Kritik mengenai pelaksanaan UN juga disampaikan Sekretaris Jenderal PB PGRI, M.Qudrat Nugraha yang menyebut UN yang dilakukan sekarang tidak bisa untuk melakukan pemetaan, evaluasi hasil belajar, evaluasi kompetensi serta untuk kelulusan siswa sekaligus. "Tidak bisa empat tujuan itu disatukan dalam UN," katanya.
Selain UN, yang menjadi sorotan PGRI berikutnya adalah nasib guru. PGRI menilai penerapan Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 akan menghambat kenaikan pangkat guru. "Peraturan tersebut mengharuskan seorang guru untuk menaikkan pangkatnya melakukan penelitian ilmiah, mempresentasikannya serta mempublikasikan karya ilmiah dan membuat buku sangat memberatkan guru," kata Sulistiyo.
Akibat ketentuan tersebut Sulistiyo menyebut ada sekitar 800 ribu guru yang terancam tidak bisa naik pangkat.
"Permenpan itu akan memperparah kondisi guru. Selain itu aturan itu bertentangan dengan UU Guru dan Dosen pasal (1) ayat (1) yang tidak menyebut penelitian ilmiah sebagai tugas seorang guru. Penelitian itu hanya untuk dosen terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi," katanya.