REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah dokter yang tidak lulus uji kompetensi kedokteran masih tersisa sebanyak dua ribu orang. Ribuan dokter ini tidak lolos uji kompetensi yang dimulai sejak 2006 hingga akhir 2012.
"Jumlah tidak lulus sebenarnya sedikit dibandingkan yang lulus," terang Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Tri Hangono Ahmad, kepada Republika, Senin (23/12).
Pada setiap uji kompetensi persentase hasil kelulusan mencapai sekitar 70 persen dan 30 persen gagal. Jumlah peserta uji kompetensi biasanya mencapai tiga ribu hingga empat ribu dokter untuk sekali ujian. Dalam setahun ada sebanyak empat kali uji kompetensi dokter. Hingga saat ini dokter yang belum lolos uji kompetensi tersisa hanya sekitar dua ribu orang.
Jumlah itu dikatakan lima persen dari total keseluruhan peserta ujian. Dari hasil identifikasi, mereka kebanyakan berasal dari perguruan tinggi swasta (PTS) yang berjumlah sekitar delapan kampus.
Diakui Tri, dari ribuan yang tidak lulus ini ada beberapa di antaranya yang sudah beberapa kali mengikuti uji kompetensi namun gagal. Karenanya, mereka didorong supaya mengikuti bimbingan khusus agar bisa lolos dalam ujian berikutnya.
Upaya ini kata Tri, dilakukan karena perguruan tinggi sudah terlanjur meluluskan mereka. Namun, akhirnya mereka tidak bisa praktik karena belum lolos uji kompetensi.
Dalam UU Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, disebutkan para mahasiswa kedokteran harus lebih dahulu lolos uji kompetensi dan baru diluluskan dari perguruan tinggi. Langkah tersebut untuk menekan dokter yang lulus dari FK namun tidak lolos uji kompetensi.
Menurut Tri, uji kompetensi mutlak diperlukan sebagai implementasi UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-undang itu mengatur untuk mendapatkan surat izin praktik (SIP), seorang dokter harus mempunyai surat tanda register (STR). Dokumen itu hanya bisa diperoleh bila dokter lulus uji kompetensi.
Penerapan uji kompetensi, lanjut Tri, dilakukan sejak 2006. Hal ini khususnya ditujukan kepada para dokter yang baru lulus dari belajar di Fakultas Kedokteran (FK).
Tri mengungkapkan, uji kompetensi dilakukan untuk menciptakan jaminan mutu atau kualitas praktik kedokteran. Kebijakan ini juga diterapkan di sejumlah negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Uji kompetensi terang Tri, dapat menjadi umpan balik bagi perguruan tinggi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di kampus. Hal ini bisa terlihat dengan naiknya standar penilaian uji kompetensi dokter setiap tahunnya. Pada 2013 ini standar minimal kelulusan minimal mencapai nilai 62.
Sebelumnya, standar kelulusan uji kompetensi hanya 48. "Namun, persentase kelulusan tetap berada pada kisaran 70 persen hingga 71 persen," imbuh Tri.
Sebelumnya Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Djoko Susilo mengatakan, dari 74 FK di Indonesia sekitar 69 persen di antaranya memiliki akreditasi C ke bawah. Sementara FK yang memiliki akreditasi A dan B jumlahnya lebih sedikit hanya sebesar 31 persen. Banyaknya FK yang akreditasinya C berdampak pada kualitas lulusan yang belum baik.