REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berkomitmen menyukseskan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dengan memberikan pencerahan pada masyarakat mengenai sosok pemimpin ideal.
Mereka memandang sudah jadi kewajiban insan cendekia Muslim memberi penjelasan dalam segala bidang, termasuk bidang politik.
ICMI bertanggung jawab ikut sukseskan agenda Pilpres 2014. Kami memberi pencerahan pada masyarakat, kata Ketua Dewan Pakar ICMI Hatta Radjasa dalam Silaturahim Kerja Nasional ICMI di Jakarta, Jumat (20/12).
ICMI, menurut Hatta, memberikan sumbangan pemikiran bagaimana konsep Indonesia pada masa depan dengan ekonomi baru yang menjadi gagasannya.
Karenanya, ICMI mengajak masyarakat untuk memikirkan bagaimana kekayaan dan potensi yang dimiliki Indonesia dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. ICMI mengajak memikirkan bagaimana kekayaan dan potensi Indonesia dapat diakses bagi masyarakat, ujarnya.
Indonesia, menurut Hatta, memiliki sumber daya alam dan manusia yang berlimpah sehingga harus dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran masyarakat. ICMI, kata dia, memiliki pemikiran agar potensi sumber daya alam dapat diakses bagi masyarakat.
Jangan sampai sumber kemakmuran dan kapital sumber daya alam hanya dapat diakses satu kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan modal, ucapnya.
Dia menilai, demokrasi Indonesia tidak bisa hanya memberikan kebebasan, tapi terputus dari kesejahteraan. Kedua hal itu, menurut dia, harus diciptakan dan ICMI berkomitmen untuk merumuskannya.
Silaknas ICMI ini akan merumuskan cara-cara mewujudkan itu, ujarnya. Acara Silaknas ICMI itu akan berlangsung dari 20-21 Desember 2013 di Jakarta Convention Center.
Sebelumnya, acara Silaknas ICMI dibuka Wakil Presiden Boediono. Selain Boediono, hadir dalam acara itu Ketua MPR RI Sudarto Danusubroto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Menteri Pertanian Suswono, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, serta Ketua Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim.
Dalam kesempatan Silaknas ICMI, Boediono mengungkapkan pandangannya soal demokrasi dan ekonomi. Dia menilai, sistem demokrasi tidak datang begitu saja ketika ada perbaikan ekonomi.
Boediono juga mengatakan, tidak bisa pelaksanaan demokrasi di Indonesia dijadikan indikator perbaikan ekonomi. Untuk itu, dia menilai perlu upaya khusus agar demokrasi menjamin munculnya kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Demokrasi tanpa kebijakan itu, maka tidak bisa berjalan, ujarnya.