Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Semilir angin menyambut saat menginjakkan kaki di area Situ Cisanti. Suara burung yang berkicau di antara pepohonan cemara dan kayu putih melengkapi suasana alam. Situ Cisanti berlokasi di Gunung Wayang. Letaknya 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Situ ini berada sekitar 60 kilometer (km) di selatan Kota Bandung, tepatnya di kampung Pejaten, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Diperlukan waktu sekitar tiga jam dari pusat kota untuk mencapai lokasi.
Situ Cisanti menjadi titik sentral kehidupan jutaan warga Jawa Barat (Jabar). Keberadaannya sangat penting lantaran menjadi hulu Sungai Citarum yang mengalir hingga mencapai hilirnya di Pantai Muara Bendera, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.
Situ yang semula rawa-rawa ini didirikan pada 2001 dan memiliki luas tujuh hektare. Saat ini, Situ Cisanti mampu menampung debit air sebanyak 80 ribu kubik. Kedalaman situ rata-rata 1,5 meter, dan ketinggian air berkurang lima centimeter ketika memasuki musim kemarau.
PT Perhutani selaku penguasa lahan yang melihat potensi debit air membuat pintu air untuk membendung kawasan ini. Sebelumnya, situ ini hanya berupa rawa-rawa yang banyak ditumbuhi rumput liar di tengah hutan.
Mengingat keberadaannya yang sangat penting, maksimal permukiman penduduk harus berjarak satu kilometer dari sumber air. Begitu pula perbukitan dijaga dan dipantau ketat. Pepohonan diawasi agar tidak ditebang.
Kebijakan itu membuat debit air di Situ Cisanti cukup stabil sepanjang tahun. Dengan berbagai langkah itu, diharapkan mata air dapat terus mengeluarkan air tanpa henti untuk menghidupi manusia.
Gembok gerbang yang mengitari mata air Pangsiraman dibuka. Penjaga situ, Kang Yana (40 tahun), membuka menyambut kedatangan rombongan. Sumber yang terus mengucur sangat jernih dan dingin. “Dari sinilah, Sungai Citarum mengalir,” kata pegawai perum Jasa Tirta II Bandung tersebut belum lama ini.
Kedatangan ke salah satu mata air utama Situ Cisanti bersama tim Forum Tujuh Tiga (Fortuga) Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan titik awal perjalanan menyusuri Sungai Citarum. Tujuannya adalah ingin mengetahui kadar kualitas di hulu hingga hilir sungai terpanjang di Jabar ini.
Ekspedisi menyusuri Citarum sepanjang 300 km dilakukan dengan menggunakan perahu karet selama tujuh hari mulai Senin (13/5) hingga Ahad (19/5). Setiap kelokan sungai yang memiliki sejarah dan titik rawan pencemaran limbah dicatat untuk dijadikan bahan kajian. Setiap titik pemberhentian telah disurvei dengan mempertimbangkan faktor keamanan.
Ketua Ekspedisi Sungai Citarum, Iwan Bungsu menjelaskan, ekspedisi dihelat dengan tujuan melakukan penyelamatan lingkungan dengan menelusuri 10 titik di Provinsi Jabar. Saat penyusuran Citarum, tim melakukan pengamatan tentang pencemaran sungai dari hulu sampai muara di Laut Jawa. “Pencemaran Citarum sudah sangat parah,” katanya.
Tidak lupa, pengambilan sampel air di belasan titik dilakukan untuk diteliti kandungan kebersihannya di laboratorium seusai ekspedisi dilakukan. Untuk melengkapi data, tim memetakan masalah dengan membuat foto dokumentasi dari darat dan udara. Ekspedisi yang dibuka anggota Fortuga yang mantan menteri perhubungan Djusman Syafii Djamal.
Sungai Citarum memiliki peran penting sebagai jalur perdagangan dan peradaban manusia sejak awal Hindu-Budha hingga Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-4. Sekarang, setidaknya dari 45 juta penduduk Jabar sesuai sensus Badan Pusat Statistisk (BPS) 2012, sebanyak 15 juta warga menggantungkan hidupnya dari sungai ini. Namun, kisah keagungan Citarum tinggal kenangan.
Akibat perilaku masyarakat yang tidak memuliakan sungai dengan gemar membuang sampah sembarangan, menjadi tempat pembuangan limbah pabrik, dan penggundulan hutan membuat kualitas air Citarum menurun drastis hingga tidak layak pakai.
Bahkan, media populer Amerika Serikat, Huffington Post, pada 2010 menempatkan Citarum termasuk dalam daftar sungai terkotor dan tercemar di dunia! Kondisi itu jelas membuat miris. Tentu pemerintah harus malu telah menjadi sorotan dunia akibat kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Menyusuri Citarum
Dari Situ Cisanti, tim menuruni perbukitan untuk menyusuri daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Permukiman penduduk yang semakin padat membuat banyak lahan perbukitan beralih fungsi ditanami sayuran. Hanya terlihat satu dua pohon cemara tersisa di tengah ladang.
Seusai menuruni perbukitan sejauh 10 km dari Situ Cisanti, terlihat air sungai sudah mulai keruh. Penggundulan hutan membuat sedimentasi tanah di pinggir sungai mengalami erosi akibat derasnya aliran air. Dipilihnya titik ini lantaran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bandung menjadikan lokasi aliran sungai sebagai tempat intake yang masuk ke dalam pipa untuk diolah.
Air terlihat berwarna kecoklatan karena bercampur dengan tanah dari dataran tinggi yang terkikis laju sungai. Sampah rumah tangga mulai terlihat di sepanjang aliran sungai. Meski begitu, karena kualitasnya masih bagus, PDAM Kabupaten Bandung memanfaatkannya sebanyak 150 meter kubik per detik di Desa Sukarame, Kecamatan Pacet.
“Di Sukarame, sungai hanya terlihat keruh, dan hanya terkotori sampah rumah tangga yang jumlahnya relatif sedikit,” kata petugas PDAM kepada Republika Online.
Perjalanan selanjutnya berhenti di Jembatan Majalaya. Rumah penduduk di kawasan ini sering menjadi langganan banjir kalau Citarum meluap. Hujan sebentar saja jalanan sudah tergenang. Kedalaman air sangat dangkal, rata-rata satu meter. Terlihat pula bekas banjir setinggi dua meter yang mengotori dinding rumah yang berdiri tepat di bibir sungai.
Kekeruhan sungai diperparah dengan aktivitas penambangan pasir. Sebanyak 15 orang yang setiap harinya mengeruk pasir di sini. Sampah juga mulai terlihat mengotori sungai. Salah satu penambang pasir, Pak Wahyu (38), mengaku berhenti mencari pasir ketika terjadi banjir bandang. Faktor hujan dan limpahan air dari gunung yang menyebabkan kawasan Kecamatan Majalaya tergenang.
Meski terlihat sampah berserakan, ia menyebut, sepanjang aliran sungai belum terkena pencemaran serius. Selain warga masih ada yang memanfaatkannya untuk mandi, masih terlihat pula beberapa orang memancing setiap sore hari. “Di sini, ikan masih banyak,” kata pria yang setiap harinya delapan jam berendam di sungai ini.
“Di sini, ikan masih banyak,” kata pria yang setiap harinya mendapat penghasilan Rp 50 ribu dari pekerjaan mencari pasir itu. Tentu saja, tidak lupa diambil sampel air untuk dimasukkan ke dalam botol air mineral berukuran sedang sebagai bahan penelitian.
Limbah pabrik
Dengan menaiki perahu karet dari Jembatan Majalaya, perjalanan berlanjut menuju garis finis di Jembatan Kopo. Selepas melewati titik keberangkatan, mulai terlihat berderetan pabrik di kanan kiri sungai yang membuang limbah dengan seenaknya.
Ada pabrik yang melakukan kamuflase dalam membuang limbah industrinya. Selain menaruh pipa pembuangan berdiameter 30 cm di bagian atas yang mengalirkan air sisa dengan warna jernih, satu lagi menanam pipa di dalam sungai.
Kalau tidak jeli, kita tentu bakal melewatkan pemandangan yang bisa menipu mata itu. Namun, bau menyengat yang bersumber dari aliran hitam menjadi pertanda adanya limbah pabrik yang dibuang ke sungai tanpa melewati instalasi pengolahan terlebih dulu.
Limbah cair berwarna hitam pekat bercampur dengan segala macam sampah dan barang bekas rumah tangga mengotori sungai yang warnanya mulai kecokelatan. Di beberapa belokan sungai, sampah menggunung karena tidak terbawa arus. “Pabrik menanam pipa pembuangan sebenarnya di dalam tanah sehingga limbah langsung terbuang ke sungai,” kata Iwan, yang juga ahli pertambangan ini.
Setelah ditelusuri, pembuangan limbah model seperti itu tidak hanya dilakukan satu atau dua pabrik. Bahkan, pabrik tekstil dan plastik yang yang berlokasi jauh dari Sungai Citarum juga memiliki saluran pembuangan ke situ. Pemilik pabrik sepertinya sudah merancang saluran pipa untuk ditanam di bawah tanah hingga mengalir menuju sungai.
“Pabrik yang membuang limbah di sini, jaraknya ada yang lima kilometer dan berada di Bandung Barat,” kata Pak Tata, warga kampung Bojong, Desa Dayeuhkolot saat ditemui di pinggir sungai.
Pak Tata mengatakan, kualitas air sudah tercemar berat. Banyaknya limbah membuat sangat sedikit ikan yang ditemui di sepanjang kawasan ini. Dari pengamatan, tidak terlihat ikan yang muncul ke permukaan selama perjalanan menyusuri sungai menuju Jembatan Kopo.
Sepanjang perjalanan lebih 10 km ini, hanya sekali bertemu dengan perahu yang menyusuri sungai untuk mencari ikan. Perjalanan cukup terganggu dengan banyaknya tali yang digunakansebagai penyeberangan perahu eretan warga. Setidaknya lambaian tangan penduduk yang mengobati sepinya perjalanan yang berakhi pada malam hari. Kondisi itu jelas sangat kontras dengan fungsi Sungai Citarum di masa lalu yang menjadi jalur transportasi utama.
Padahal sejak era Kerajaan Tarumanegara hingga pemerintah Kolonial Belanda, sungai ini menjadi jalur transportasi utama yang menghubungkan daerah pedalaman dengan pesisir untuk mengangkut hasil pertanian. Kebijakan industrialisasi pada 1980-an membuat sungai ini menjadi tempat pembuangan limbah yang jumlahnya tidak terkendali. Bertambah mudahnya sarana transportasi darat juga membuat peran Citarum semakin tersisihkan.
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar pernah berjanji akan membenahi pencemaran sungai. Konsep pembenahan Sungai Citarum juga sudah dirumuskan sejak 2009. Namun, hingga saat ini konsep untuk membuat Citarum bersih pada 2018 belum berjalan sama sekali. Padahal, semua program sudah ada dan dilakukan penelitiaan.
“Ya, kendalanya kaitannya dengan kewenangan. Dari mulai pemerintah pusat sampai daerah. Bahkan, Keppres mengatakan Sungai Citarum sebagai sungai strategis nasional,” ujar Kepala BPLHD Jabar, Setiawan Wangsaatmadja.
Setiawan mengatakan, seharusnya Citarum menjadi kewenangan pemerintah pusat terkait program revitalisasi sampai pendanaan. Namun, di sisi lain, Citarum ini berada di Jabar dan melintasi sembilan kabupaten/kota. Menurut Setiawan, kendala lain yang menyebabkan konsep tidak berjalan karena permasalahan yang kompleks, mulai industri, sampah domestik, pertanian, dan peternakan.
Ekspedisi selanjutnya menemukan fakta lebih mengerikan. Kondisi lebih parah terjadi di Curug Jompong. Untuk mencapai tempat ini, harus menuruni jalan setapak sepanjang 40 meter dengan medan curam. Kawasan ini sudah termasuk hilir pertama Citarum yang berjarak 68 km dari Situ Cisanti.
Curug berarti air terjun, Jompong adalah remaja putrid. Sebutan jompong adalah karena kerasnya batuan di sana, dianalogikan remaja putri yang menjaga kehormatannya. Menurut T Bachtiar dalam Bandung Purba (2012), masyarakat menamai Curug Jompong karena selaput dara bumi tersayat sehingga Danau Bandung Purba Timur pun menembus bebatuan dan bobol di tempat itu.
Karena jalurnya berkelok, Curug Jompong mirip dengan air terjun dengan ketinggian rendah. Aliran deras seolah mencari celah untuk membelah bebatuan andesit, lempung, dan kapur ukuran besar setinggi di atas dua meter. Batu besar itu diperkirakan terbentuk pada empat juta tahun silam. Masyarakat setempat menyebut kawasan ini sebagai tanggul alami.
Tempat ini merupakan titik temu di antara Sungai Citarum yang di arah baratnya merupakan Waduk Saguling. Area tidak sedap yang terpancar dari bau limbah pabrik dan sampah yang terbawa aliran sungai menyambut kedatangan kami. Belum lagi warna air yang terlihat gelap, meski mengalir deras membuktikan pencemaran Citarum sudah sangat akut.
“Sekarang, warga tidak lagi mandi di kawasan sini karena airnya bikin gatal,” kata Sutisna (47), warga setempat di tepi sungai. Bahkan, kalau musim kemarau tiba saat debit air mengecil, air cenderung berwarna hitam dan mengeluarkan bau busuk yang dapat dicium hingga radius puluhan meter.
Dia berkisah, Curug Jompong mengalami masalah luar biasa akibat pencemaran limbah. Warga Jelegong yang banyak bekerja sebagai pembuat batu bata saja sudah mulai enggan menggunakan air sungai. Pasalnya, kalau memaksakan diri, risikonya tangan terkena penyakit kulit. Alhasil, ia bersama pekerja lebih memilih menggunakan air sumur untuk membuat olahan bahan batu bata.
Kondisi itu jelas sangat kontras dengan yang terjadi sekitar 25 tahun lalu. Ia masih ingat, sebelum era 1990, setiap harinya banyak warga memanfaatkan aliran air untuk mandi di tepi sungai. Bahkan, karena airnya masih jernih, tidak sedikit warga yang memanfaatkannya untuk keperluan minum sehari-hari. Bahkan, tidak sedikit yang memanfaatkannya untuk keperluan minum sehari-hari.
Karena keindahannya, kata dia, Curug Jompong menjadi langganan kunjungan turis lokal maupun mancanegara. Pelancong dari Belanda, Swiss, dan Jerman sering terlihat mengunjungi tempat ini. Sekarang, boro-boro ada wisatawan. Warga setempat saja kalau tidak ada keperluan mendesak tidak bakal mau turun dan hanya melihat Curug Jompong dari atas.
“Tahun 1985, airnya masih jernih. Setelah banyak limbah dan sampah, tidak ada lagi wisatawan yang ke sini,” kata Sutisna mengenang.
Tercemar parah
Tingkat pencemaran Sungai Citarum yang sangat parah semakin menemukan buktinya ketika terus ditelusuri. Jembatan Cipatik di Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat menjadi tempat persinggahan untuk melakukan pengamatan. Melihat Citarum tanpa perlu terjun ke sungai sudah membuat bergidik. Ini lantaran tumpukan sampah seolah menutup hampir seluruh sungai di sepanjang mata memandang.
Kondisinya mirip ‘toserba’ karena berbagai macam barang, mulai botol hingga kasur terlihat mengambang. Saking banyaknya sampah yang berbaur dengan eceng gondok, rumput liar pun tumbuh subur memenuhi permukaan sungai. Saat itu, debit air lumayan banyak sehingga sampah masih berpencar.
Pesan di poster bertuliskan, “Sungai Kita Masa Depan Kita, Mari Kita Jaga Bersama” hanya menjadi hiasan belaka. Pasalnya, di sisi kira papan pengumuman itu yang dipasang Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jabar itu malah dikelilingi sampah.
Menurut peneliti perairan ITB Abrar Prasodjo, kalau musim kemarau tiba, para pemulung tidak lagi menggunakan sampannya karena terhalang tumpukan sampah setinggi tiga meter. Mereka bisa berdiri dan berjalan di atas sampah tanpa takut jatuh karena volumenya sangat banyak. “Jika musim kering, perahu bahkan tidak bisa dipakai karena sampah sangat tebal dan hampir mengendap,” katanya.
Kemudian, perjalanan bergeser menuju Waduk Saguling. Menyusuri Saguling, mudah sekali menemukan eceng gondok. Mengacu kualitas air, kata Abrar, banyaknya tanaman gulma menjadi tanda kualitas air itu sudah tercemar. Apalagi, waduk yang berada di 643 mdpl ini difungsikan pula sebagai penyaring segala kotoran yang terangkut Citarum.
Tidak mengherankan, kualitas air Saguling cukup buruk dan lebih banyak difungsikan sebagai pembangkit listrik. “Pakan ikan yang dibudidayakan di keramba yang mengendap di dasar waduk juga memperburuk kualitas air,” ujar Abrar.
Tempat budidaya jaring apung tentu tidak ketinggalan dikunjungi. Hampir di setiap penjuru waduk dipenuhi keramba dengan jumlah berbeda-beda. Beberapa jenis ikan, seperti mas, mujair, nila, dan patin menjadi andalan yang dibudidayakan. Salah satu perawat jaring apung, Pak Mansyur menjelaskan, ikan jenis tersebut saja yang cocok dikembangkan di Waduk Saguling.
Pakan yang diberikan adalah singkong, ubi, sosis, dan roti. Ia kedapatan tugas untuk menjaga 100 kapling keramba, yang setiap kapling berukuran 7×7 meter. Dengan kedalaman jarring 4 meter, satu kapling diisi sebanyak 5.000 bibit.
Ketika mulai beranjak besar, segera dilakukan pemindahan tempat. Meski mengakui kualitas air tidak jernih dan keruh, Mansyur mengaku selama 10 bulan terakhir tidak ada ikan yang siap panen mengalami musibah. “Belum pernah gagal panen.”
General Manager PT Indonesia Power Saguling, Del Eviondra, mengakui terjadi pencemaran berat di Saguling. Selain limbah yang terbawa aliran Citarum, penyebab pencemaran adalah pakan yang tidak termakan ikan hingga mengendap di dasar waduk. “Pakan yang ditebar itu setiap harinya yang tidak termakan ikan mencapai hitungan ton, yang tentu saja menjadi limbah karena konsekuensinya mencemari air.”
Semakin parahnya kualitas air yang mengandung gas amoniak dan aroma sulfur yang kental pada musim kemarau, tidak hanya membuat ikan yang dibudidayakan mengandung logam berat. Dampaknya, banyaknya kandungan pencemaran, air waduk hanya layak digunakan untuk kepentingan industri, dan tidak layak dikonsumsi. “Hal ini juga mengakibatkan peralatan besi, seperti dinding dan pipa mudah berkarat,” kata Del.
Kondisi Waduk Cirata tidak berbeda jauh dengan Waduk Saguling yang dipenuhi eceng gondok. Penyusuran menggunakan perahu karet dengan tempat pemberangkatan di area Saguling dengan tempat pemberhentian di area pintu masuk utama di Desa Cadas Sari, Kecamatan Tegal Waru, Kabupaten Purwakarta. Menempuh waktu sekitar tiga jam, perjalanan terhambat dengan banyaknya eceng gondok yang jumlahnya tidak terkendali dan ribuan jaring apung.
Keadaan berbeda didapati di Waduk Jatiluhur. Meski jumlah jaring apung jauh lebih banyak, namun sebaran eceng gondok sangat sedikit. Waduk terluas di Jabar ini lebih banyak difungsikan untuk sarana irigasi daripada pembangkit listrik. Jarak sekitar 15 km itu ditempuh dengan menggunakan perahu nelayan selama dua jam.
Dibanding dua bendungan sebelumnya, air di bendungan yang dibangun pada 1957 ini relatif tidak terlalu keruh. Dapat dinilai, pencemaran air di Jatiluhur belum separah di Saguling dan Citara. “Kualitas air di Jatiluhur jelas lebih baik karena limbah dari Citarum sudah disaring dua waduk sebelumnya,” kata Abrar yang menghitung sudah menempuh perjalanan 147 km.
Ekspedisi Fortuga ITB hari kelima dimulai dari Bendungan Walahar. Dari titik ini, jarak yang sudah dilalui sepanjang 190 km. Bendungan yang terletak di Desa Walahar, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang ini memiliki peran strategis dalam mengatur debit Sungai Citarum.
Dari Bendungan Parisdo—sebutan populer lainnya—ini, limpahan sungai dibagi menjadi dua bagian. Satu anak sungai diarahkan untuk tujuan irigrasi yang mengitari Karawang, dan aliran satunya mengalir hingga ke hilir di Muara Bendera, Kabupaten Bekasi. Penyusuran sungai dari Kabupaten Karawang hingga Bekasi, tepatnya di bibir pantai utara Jawa, menandakan semakin ke arah utara kualitas air malah tidak layak.
Pada hari terakhir, sekitar 500 meter berjarak dari mulut Citarum menuju Muara Bendera, ekspedisi menyusuri sungai resmi berhenti. Fortuga ITB menanam 1.973 bibit mangrove di bibir pantai yang mengalami abrasi sangat parah. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
Dede Suprajat, polisi hutan yang bertugas menjaga Muara Bendera menyatakan, kawasan ini mengalami abrasi sepanjang 1,5 km. Akibat pengalihfungsian lahan mangrove membuat berbagai fauna liar menghilang. Lahan hutan bakau yang dulunya menjadi sabuk penahan ombak, kata Dede, hancur akibat ulah seraha manusia. “Dulu banyak burung dan binatang liar di sini, tapi sekarang tidak ada lagi,” katanya.