REPUBLIKA.CO.ID, KARANGANYAR -– Mulai 1 Januari 2014 nanti, seluruh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan penghulu se-Solo Raya (Karanganyar, Solo, Sragen, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, Boyolali dan Klaten) menolak melayani pencatatan nikah di luar jam kerja dan di luar balai nikah.
Menurut Ketua Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) se-Solo Raya, Aminudin Azin, Senin (16/12), keputusan itu diambil berdasar kesepakatan bersama. Dalam pertemuan ratusan Kepala KUA dan penghulu selain memutuskan hal tersebut, juga mendeklarasi APRI (Asosiasi Penghulu Republik Indonesia) se-Solo Raya.
Dalam deklarasi APRI mendesak sejumlah opsi yang diajukan kepada pemerintah. Pertama, biaya operasional penghulu ditanggung penuh oleh negara. Seperti, ongkos transpor ke tempat ijab kabul, dan kompensasi pelayanan di luar waktu bertugas.
''Bila negara tidak sanggup, maka pemerintah harus meninjau ulang aturan tentang pelaksanaan akad nikah di luar KUA,'' kata Aminuddin.
Menurutnya, tuntutan APRI ini merupakan hasil kesepakatan penghulu se-Jawa dan Bali, 9 Desember lalu. Tuntutan itu dilatarbelakangi pemidanaan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri, Romli. Penghulu tak mau bernasib serupa. Hanya gara-gara menerima uang dari mempelai harus dipenjara karena dianggap bentuk pungutan liar dan gratifikasi.
Aminuddin yang juga menjabat Kepala KUA Banyudono, Kabupaten Boyolali, mengatakan, tugas pencatatan nikah kebanyakan dilaksanakan di luar jam dinas, dan di rumah mempelai. Biasanya, berlangsung pada hari libur atau akhir pekan.
Dia pun mengaku sering melaksanakan tugas seperti itu sehingga jarang bersama keluarga pada akhir pekan karena harus mencatat pernikahan. Selama ini, tanda terima kasih berupa uang sudah menjadi budaya yang tidak lepas dari adat ketimuran. Penghulu menyayangkan apabila hal itu dipandang sebagai bentuk suap, sogok, atau gratifikasi.