Sabtu 14 Dec 2013 22:26 WIB

YLKI: Pemerintah dan Operator Belum Edukasi Masyarakat Secara Masif

Rep: Ira Sasmita/ Red: Djibril Muhammad
Petugas mengganti rel kereta api yang rusak akibat tabrakan kereta api dengan truk tangki di perlintasan kereta di Bintaro Permai, Jakarta Selatan, Selasa (10/12).   (Republika/Yasin Habibi)
Petugas mengganti rel kereta api yang rusak akibat tabrakan kereta api dengan truk tangki di perlintasan kereta di Bintaro Permai, Jakarta Selatan, Selasa (10/12). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pembenahan persoalan perlintasan sebidang tidak cukup dengan membangun infrastruktur saja. Tetapi juga disertai edukasi kepada masyarakat sebagai pengguna lalu lintas yang tingkat disiplinnya dinilai masih rendah.

"Edukasi ini sepertinya yang belum dilakukan. Kementerian Perhubungan, pemerintah, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) belum melakukannya secara masif," kata pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, dalam diskusi bertema 'Bencana di Rel Kereta", di Jakarta, Sabtu (14/12).

Tulus mengatakan, sebenarnya kecelakaan lalu lintas di pintu perlintasan kereta api tidak hanya terjadi di Indonesia. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan di negara-negara Asia, kecelakaan lalu lintas di pelintasan sebidang sangat dominan. Ironisnya, di Indonesia upaya untuk menekannya masih belum optimal.

Di pulau Jawa, menurut Tulus, pintu perlintasan yang dijaga hanya 13.9 persen. Tetapi, seringkali tingginya angka kecelakaan di perlintasan dianggap biasa. Padahal dulu, saat zaman Belanda, ketika terjadi kecelakaan lalu linyas langsung diumumkan sebagai peristiwa luar biasa hebat (PLH).

Ironisnya, saat ini perhatian masyarakat dalam bidang perkeretaapian tidak terlalu besar. Kereta Api sebagai transportasi massal masih dianaktirikan. Pemerintah hanya fokus membangun jalan raya. Bukan transportasi massal berbasis rel yang sebenarnya lebih efisien dan hemat.

"Saat perlintasan ditambah pun kebijakannya tidak inline. Tidak dibangun aspek-aspek pendukung, seperti listrik, tarif, perlintasan sebidang, underpass," ujar Tulus.

Mengingat perhatian yang kurang dari pemerintah, akhirnya berimbas pada kedisiplinan masyarakat. Perlintasan sebidang yang harusnya ditutup, tetap digunakan pengguna jalan raya. Namun, upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat juga rendah.

"Tiga tahun lalu masih ada peringatan memakai speaker kalau kereta api mau melintas. Sekarang kan sudah tidak ada lagi," kata Tulus.

Kecelakaan KRL Bintaro dan truk tangki Pertamina Senin (9/12) lalu, menurut dia, harus membangun kesadaran bersama dari semua pihak. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan edukasi terhadap masyarakat tentang pentingnya mematuhi aturan berlalu lintas di perlintasan kereta api.

"Yang paling mendesak, membangun underpass dan fly over sehingga tidak ada lagi pintu perlintasan yang dilewati kendaraan secara langsung," ujarnya.

Dalam UU Perkeretaapian, Tulus melanjutkan, pemerintah daerah berhak dan wajib berkontribusi. Dengan membangun underpass dan flyover di lintasan sebidang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement