REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Amri Amrullah/Neni Ridarineni
Status kehalalan obat harus diselesaikan agar masyarakat tak khawatir mengonsumsinya.
YOGYAKARTA — Kesadaran pemilik warung makan di Yogyakarta untuk memperoleh sertifikat halal meningkat. Kebanyakan warung makan bersertifikat halal dijalankan para pengusaha muda. Bahkan, tak berapa lama ada beberapa warung yang baru.
“Setelah memperoleh sertifikat halal, usaha mereka berkembang pesat,” kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) DIY Tridjoko Wisnu Murti, Kamis (12/12).
Ia mencontohkan Warung Steak Group. Kelompok usaha ini mengembangkan sayap usahanya menjadi Warung Penyet dan Bebakaran, Warung Bebek Goreng, Yogya Fried Chicken, serta Olive Fried Chicken.
Saat mendaftarkan diri untuk sertifikasi, Tridjoko menjelaskan, Warung Steak Group baru ada di enam tempat. Namun, saat ini usaha mereka mengalami kemajuan berarti. “Setahu saya, rumah makan itu sudah ada di 35 tempat lebih,’’ katanya.
Di sisi lain, ia menyayangkan masih banyak warung yang sudah lama berdiri namun belum bersertifikat halal. Rumah makan yang menjual masakan padang, misalnya. Menurut Tridjoko, baru ada satu yang bersertifikat halal, yaitu Rumah Makan Minang Ria.
Padahal, ia mengaku berulang kali meminta kepada mereka untuk memroses sertifikat halal. Tridjoko bahkan bertemu sesepuh orang Padang di Yogyakarta. Tujuannya agar sesepuh itu meminta pemilik warung padang melakukan sertifikasi.
Namun ternyata, kata Tridjoko, berdasarkan pengamatan di lapangan, pemilik warung Padang tak semuanya orang Padang. Bahkan ada yang non-Muslim. “Saya tetap berharap warung-warung makan sadar soal sertifikasi halal,” kata guru besar Fakultas Peternakan UGM ini.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengapresiasi langkah LPPOM MUI DIY. Imbauan semacam itu perlu dilakukan sebagai perlindungan menyeluruh kepada konsumen Muslim. Ia menegaskan, proses sertifikasi tak akan memberatkan pengusaha.
Selain itu, biaya yang akan mereka keluarkan juga tak akan membebani pengusaha besar maupun kecil. Ke depan, ujar Lukmanul Hakim, semua rumah dan warung makan diimbau melakukan sertifikasi. LPPOM di daerah juga sudah mulai bergerak.
Obat halal
Secara terpisah, Ketua MUI Amidhan mendesak ahli obat segera menemukan zat lain pengganti enzim babi. Biasanya enzim babi masih digunakan dalam pembuatan beberapa jenis vaksin, seperti vaksin polio dan meningitis.
“Segera temukan obat pengganti dari obat yang mengandung enzim tersebut (enzim babi) agar kita dan konsumen tidak terpaku pada keharaman obat,” ujar Amidhan, seperti dikutip kantor berita nasional, Antara.
Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Masfar Salim mengatakan, penggunaan enzim babi pada obat tertentu dilakukan karena belum ada penggantinya. Hanya sedikit obat berenzim babi, seperti obat pengencer darah dan vaksin.
Menanggapi hal tersebut, Amidhan mengatakan saat terdesak, boleh mengonsumsi obat yang mengandung enzim tersebut. Namun, hal itu harus dikaji terlebih dahulu sehingga masyarakat diimbau untuk mengutamakan obat yang halal.
“Tidak boleh mengutamakan obat yang tidak halal untuk dikonsumsi,” ujar Amidhan. Di sisi lain, IDI mengatakan bahwa para dokter berusaha memberikan informasi kepada pasien soal ini. Dengan demikian, nantinya pasien dapat mengambil keputusan sendiri.
IDI mengaku, tak semua dokter mengetahui secara pasti semua kandungan pada obat. Lembaga ini beralasan mereka hanya meresepkan, bukan pembuat obat. Minimnya informasi halal diakui pula menyulitkan dokter maupun konsumen.
Menurut IDI, mestinya segera dilakukan pertemuan antara produsen obat, farmakolog, BPOM, serta MUI agar tidak menimbulkan kekhawatiran yang semakin besar di masyarakat. Jika berlarut-larut, masyarakat akan takut mengonsumsi obat. Lalu, masyarakat memilih obat alternatif yang belum teruji manfaatnya.