REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, miris melihat kondisi Indonesia yang dibanjiri produk-produk impor. Ia mengatakan, seharusnya jutaan penduduk Indonesia ini tidak menjadi pasar besar bagi negara lain.
"Penduduk yang besar bukan kita banggakan menjadi pasar yang besar pula," kata Wiranto, di Jakarta, Jumat (13/12). Ia mengatakan, Indonesia seharusnya tidak menjadi negara konsumen. Ia ingin negara ini menjadi produsen dengan mengekspor produknya ke luar negeri.
Karena itu, Wiranto mengatakan, Indonesia harus melepas ketergantungannya akan impor. Ia mengatakan, harus ada perubahan untuk menjadikan negara ini sebagai rumah produksi yang sangat kuat. "Sangat besar. Sehingga yang kita kirimkan ke luar itu barang-barang mahal harganya," ujar mantan Panglima TNI itu.
Menurut Wiranto, untuk mendukung itu negara ini juga harus mengubah cara berpikir. Ia mengatakan, Indonesia harus lebih memfokuskan diri untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM), tidak melulu pada Sumber Daya Alam (SDA). "Kecerdasan manusia yang dikapitalisasi membuahkan inovasi, membuahkan pemikiran-pemikiran jauh ke depan, membuat suatu terobosan baru, moralitas," katanya.
Wiranto mengatakan, Indonesia membutuhkan prajurit-prajurit tangguh untuk bisa melakukan perubahan dan dapat bersaing. Ia mengatakan, kualitas SDM harus terus ditingkatkan sesuai dengan amanat konstitusi. Ia juga mengusulkan agar dana penelitian ditingkatkan dari semula 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 3 persen.
Menurut Wiranto, pemerintah juga harus bisa menarik para tenaga ahli Indonesia yang selama ini bekerja di luar negeri. Ia meyakini kembalinya para cendikia itu akan membantu negara ini menjadi lebih maju. Ia mengatakan, tenaga para cendikia ini dibutuhkan untuk membuat inovasi atau terobosan baru.
Indonesia juga harus berubah dan bisa berdaya saing. Menurutnya, kondisi negara ini sangat memprihatinkan dari berbagai aspek. Berdasarkan data dari UNESCO, indeks pembangunan Indonesia berada di urutan ke-64 dari 124 negara. Peningkatan sistem pendidikan Indonesia juga rendah. "Daya saing paling buruk di Asia Tenggara, pengangguran masih banyak," katanya.