REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2002-2008, Jimly Asshiddiqie, menilai bahwa sistem demokrasi di Indonesia tergolong populer, sehingga para pemimpinnya tidak berani mengeluarkan kebijakan yang tidak populer.
"Demokrasi kita sangat 'ngepop'. Semua serba populer. Jadi penganut kebijakan kurang berani ambil keputusan sebab pasti menimbulkan kontroversi," kata Jimly usai menjadi pembicara dalam seminar 'Pekan Politik Kebangsaan' di Jakarta, Kamis.
Karena takut menimbulkan kontroversi, maka kebijakan yang dibuat atau diputuskan oleh para pemimpin bersifat popular. Maksudnya agar dapat diterima oleh semua pihak.
Jimly mengatakan sistem demokrasi pop ini terjadi karena dia menilai Indonesia masih dalam proses belajar menggunakan sistem demokrasi.
Selain itu, Jimly mengemukakan kebijakan yang dibuat sengaja menghindari kontroversi dengan tujuan agar pejabat tinggi negara tersebut kembali dipilih untuk tetap menjabat.
"Padahal mau membenahi negara ini, sistemnya harus dibenahi. Sistem itu butuh perbaikan serius, pasti kontroversial," tegas Jimly.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu kemudian menambahkan bahwa Indonesia memiliki penduduk yang sangat plural atau beragam, sehingga tidak mungkin memiliki pendapat yang sama.
Oleh sebab itu, seorang pemimpin atau pejabat harus paham bahwa setiap keputusan dapat membuahkan kontroversi sehingga dia harus mampu menjelaskan maksud dan tujuan dari kebijakan yang telah diputuskan.
Selain itu, implementasi dari ide dan kebijakan yang diputuskan juga harus dipikirkan oleh sang pengambil kebijakan. Karena, menurut Jimly, ide yang baik akan menjadi percuma bila tidak dapat diimplementasikan dengan baik pula.
"Meskipun ide baik tapi infrastruktur tidak siap, ya tetap saja salah," tandas Jimly.