Kamis 12 Dec 2013 15:50 WIB

Kemenag Buat Aturan Teknis Penghulu

Pernikahan (Ilustrasi)
Foto: AFP
Pernikahan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah

Pemberian uang ke penghulu biasanya sebagai ganti biaya transportasi.

JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) memastikan akan mengeluarkan aturan tambahan mengenai tugas penghulu, terutama saat mereka menjalankan pekerjaannya di luar Kantor Urusan Agama (KUA) dan jam kerja.

Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Abdul Djamil, mengatakan, aturan itu memang sedang dalam proses agar bisa melindungi para penghulu yang bertugas di luar KUA dan di luar jam. "Saat ini, kami mempersiapkannya,’’ katanya, Rabu (11/12).

Menurut dia, aturan tersebut perlu disesuaikan dengan aturan yang sudah ada. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) terkait penerimaan negara bukan pajak dan Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait biaya pencatatan nikah.

Selama belum ada payung hukum yang baru, ia tetap meminta para penghulu melayani pasangan nikah di KUA dan jam kerja. ‘’Kami juga menginginkan mereka menghindari potensi adanya gratifikasi,’’ ujar Djamil.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan pemerintah sedang menggodok aturan tambahan untuk mempermudah kerja penghulu, khususnya ketika mereka bertugas di luar KUA dan jam kerja.

"Lagi dipikirkan. Saya akan berkoordiansi dengan jaksa agung dan mengkaji sejumlah kasus KUA yang dipermasalahkan secara hukum di daerah," kata Suryadharma. Menurut dia, ada hal yang perlu diperhatikan.

Di antaranya, penegasan kriteria gratifikasi itu. Apakah ucapan terima kasih yang sudah mentradisi itu disebut gratifikasi? Sepengetahuan dia, gratifikasi itu pemberian uang atau imbal jasa kepada seorang penjabat dalam upaya memudahkan urusan.

"Apakah ada di antara kita dipersulit sama KUA melaksanakan nikah? Saya tidak yakin alasan gratifikasi karena penghulu mempersulit masyarkat,’’ ujar Suryadharma. Ia juga telah mengajukan usulan ada tambahan pembiayaan nikah.

Sayangnya, sampai sekarang pembiayaan itu belum sepenuhnya tercukupi. Ini disebabkan oleh anggaran pemerintah yang terbatas. Suryadharma berharap tahun depan kondisi ini dapat diperbaiki agar tidak ada lagi kasus yang dianggap gratifikasi ke penghulu.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Abdusshomad Buchori meminta Kementerian Agama segera menemukan solusi mengenai tuduhan gratifikasi kepada penghulu. ‘’Harus segera diselesaikan masalah ini, jangan sampai berlarut-larut.’’

Kanwil Kemenag Jatim harus memanggil semua yang terlibat dan mencarikan solusinya. Menurut dia, kasus gratifikasi yang bergulir kali ini karena adanya patokan harga dari oknum tertentu kepada keluarga yang memiliki hajatan pernikahan.

Kalau pernikahan di KUA, biayanya hanya Rp 30 ribu hingga Rp 35 ribu. Saat pernikahan di luar KUA itu yang masih belum ada standarnya. Terkait pemberian ke penghulu dari keluarga yang melakukan hajatan, ia menganggapnya sebagai sedekah. ‘’Itu manusiawi,’’ katanya.

Pada umumnya, pemberian itu sebagai pengganti biaya transportasi penghulu menuju rumah atau masjid tempat akad nikah berlangsung. Abdusshomad menilainya sebagai hal lumrah atau budaya di tengah masyarakat.

Sebab, seorang penghulu tidak akan ke rumah atau mendatangi lokasi akad nikah karena tidak sanggup dengan biaya yang dikeluarkan. Maka, idealnya memang menikah di KUA. Namun, ada kultur masyarakat menikah di rumah atau masjid. Jadi, di luar KUA.

‘’Kalau sekarang muncul tudingan gratifikasi, maka penghulu akan lebih hati-hati dan imbasnya ke masyarakat sendiri," ujar Abdusshomad menjelaskan. Karena itu, ia mendesak Kemenag merumuskan standar biaya jika pernikahan di luar KUA dan jam kerja.

Belum adanya aturan yang melindungi penghulu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur Sudjak menegaskan akan mengikuti keputusan KUA se-Jatim untuk tidak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement