REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 diperkirakan akan meningkatkan tindak pidana korupsi untuk pembiayaan pemenangan partai politik.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyerahkan data pengurus inti partai politik peserta Pemilu 2014.
"Kita berharap KPU berinisiatif menyerahkan daftar pengurus partai yang 12 (parpol) tadi," kata Ketua PPATK, M Yusuf dalam acara diskusi di Jakarta, Ahad (8/12).
Yusuf menambahkan data para pengurus inti setiap partai politik akan membantu PPATK untuk menelusuri apakah ada aliran atau transaksi mencurigakan dalam kepemilikan rekeningnya. Sebab, saat ini hanya pihak penyelenggara pemilu saja yang mengetahui data pelaku politik.
Biasanya, Yusuf melanjutkan, modus yang digunakan dalam pratik politik uang ini adalah pengijonan alias balas jasa dengan rentang waktu yang cukup lama. Hal ini bisa dilihat dari tingginya nilai transaksi para caleg setahun sebelum pemilu dan setahun setelah pemilu.
Data pengurus inti partai politik yang dapat ditelusuri PPATK tidak hanya sekadar nama saja, melainkan juga tanggal lahirnya. Jika hanya nama saja, PPATK akan kesulitan karena bisa saja banyaknya orang yang memiliki nama sama.
Ia juga meminta agar KPU juga mengawasi penggunaan dana kampanye yang dimiliki partai politik. Partai politik diduga akan menggunakan dana-dana bantuan sosial (bansos) ataupun corporate social responsibility (CSR) yang rentan untuk disalahgunakan.
Untuk perbankan biasanya dana CSR itu dikelompokkan untuk kelompok-kelompok tertentu. Ini otoritasnya pada komisaris karenanya direksi tak berani melawan komisaris. Menurut dia, dana CSR itu ditentukan komisaris akan disalurkan ke mana.
Modus lainnya adalah pemberian pinjaman kepada kelompok atau pihak tertentu yang berafiliasi pada partai politik.
Padahal pinjaman tersebut bermasalah misalnya karena tidak cocok jaminannya, namun karena komisaris takut dicopot pihak yang berafiliasi dengan partai, maka diloloskan pinjamannya.
Sedangkan untuk penyalahgunaan dana bantuan sosial (Bansos) kerap terjadi di pemerintah daerah. Ia menyontohkan kasus dana bansos di Bandung yang ditangani KPK senilai Rp 70 miliar.
Penyelewengan lainnya terjadi pada penyaluran dana pendidikan dari pusat ke daerah senilai sekitar 230 triliun atau 20 persen dari APBN.
"Jika anggaran sudah digelontorkan ke daerah, tidak ada kendali dari pusat. Pemerintah daerah yang menentukan hitam-putihnya," ucap tokoh yang berprofesi sebagai jaksa ini.