REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah meminta para pemilik mobil baru dan mobil mewah tidak memasang alat identifikasi konsumsi BBM bersubsidi atau radio frequency identification (RFID) pada kendaraannya. RFID hanya boleh dipasang pada mobil yang membutuhkan BBM bersubsidi. Dengan menggunakan sistem itu, pemerintah dapat membatasi konsumsi BBM bersubsidi agar tidak melampaui kuota untuk BBM bersubsidi.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini pemerintah memang belum mengeluarkan aturan bahwa RFID tidak boleh dipasang di mobil mewah dan mobil baru. "Mesti ada semacam himbauan moral bahwa RFID itu adalah dalam rangka mengendalikan BBM bersubsidi. Jadi ya seharusnya yang memakai yang memasang adalah yang membutuhkan BBM bersubsidi," papar Bambang yang ditemui usai HSBC Global Economic Outlook 2014, Rabu (4/12).
RFID dipasang pada mobil agar dapat mengendalikan volume konsumsi BBM. Target kuota BBM bersubsidi tahun ini yang sebesar 48 juta kilo liter (KL) diharapkan tidak terlampaui. Untuk menekan penggunaan BBM bersubsidi, selain menggunakan RFID, pemerintah melakukan konversi BBM dengaan biofuel dan gas. "Itu harus diperbanyak, diperbesar. Kita akan siapkan semua aturan yang terkait," ujar dia.
Bambang mengatakan pemerintah akan memberikan insentif bagi perusahaan yang mengembangkan energi alternatif. "Insentif itu selalu terbuka, paling tidak ada tax allowance, tapi tentunya harus dilihat size perusahaannya dan kemudian aktifitasnya seperti apa," ujar dia. Bambang mengatakan perusahaan yang mengembangkan energi alternatif dan terbarukan jangan sampai menambah beban lain.
Sebelumnya, ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Destry Damayanti, meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan mandatory konversi BBM ke biofuel. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan defisit transaksi berjalan yang telah menekan pelemahan nilai tukar rupiah. "Pemerintah harus mengeluatkan kebijakan mandatory konversi bbm ke biofuel," ujar dia.
Pemerintah dapat mewajibkan penggunaan biofuel kepada seluruh kendaraan pribadi di tanah air. Sebagai tahap awal, kebijakan ini dapat diwajibkan kepada perusahaa -perusahaan milik negara (BUMN) seperti PLN, dan lainnya. Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan prosentase kandungan CPO dalan biofuel dari 10 persen menjadi maksimal 40 persen.
Destry mengatakan kapasitas produksi CPO di dalam negeri cukup memenuhi kebutuhan tersebut. "Pabrik kita sudah siap, banyak pabrik sudah punya pabrik biodiesel, cuma gak ada mandatorynya," ujar dia.
Menurut Destry, kebijakan ini akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan kenaikan pajak bagi barang mewah dalam mengatasi masalah defisit transaksi berjalan. Alasannya, porsi impor barang mewah masih kecil dalam neraca perdagangan Indonesia.