REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Puluhan pekerja rumah tangga di Daerah Istimewa Yogyakarta berunjuk rasa dengan melakukan aksi simpatik di depan Gedung Agung Yogyakarta, Sabtu malam, menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga.
Koordinator aksi, Sri Sulastri di sela aksi mengatakan, dengan tidak adanya jaminan payung hukum bagi PRT, berakibat tidak maksimalnya upaya perlindungan hak-hak PRT di Indonesia.
"Selama ini PRT masih dianggap sebagai objek komoditas yang tidak memiliki hak layaknya pekerja lainnya," kata ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Yogyakarta ini.
Ia mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebelumnya telah masuk prioritas legislasi nasional (prolegnas) sejak 2005.
Namun, kata dia, hingga masuk masa sidang ke-2 (2013-2014) DPR RI tidak kunjung disentuh untuk dibahas kembali.
Menurut dia, selama ini PRT melakukan pekerjaan dengan memenuhi unsur upah, perintah, dan pekerjaan.
Dengan demikian, kata dia, PRT seharusnya diperlakukan sebagai pekerja yang berhak atas hak normatif, dan dilindungi sebagai pekerja pada umumnya.
"PRT seperti yang sering terjadi di berbagai daerah masih jauh dari perlindungan. Kekerasan masih banyak menimpa teman-teman kami," katanya.
Selain itu, kata dia, upah yang rata-rata diterima PRT masih di bawah upah layak. Upah yang diterima masih berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per bulan.
"Dengan aksi ini kami juga menuntut agar upah PRT disetarakan dengan upah minimum perkotaan (UMP). Kami juga sama dengan pekerja lainnya," katanya.
Padahal, lanjut dia, jaminan kesejahteraan bagi PRT di Yogyakarta telah diatur dalam peraturan gubernur (pergub).
Ia mengatakan dalam pergub dijelaskan bahwa PRT memiliki hak hari libur, hak berorganisasi, dan pemberian upah layak.
"Pergub telah mengatur kesejahteraan kami, namun belum gencar disosialisasikan," katanya.
Aksi yang dilakukan dengan menyalakan puluhan lilin tersebut berjalan lancar, dan diakhiri dengan doa bersama.