Kamis 28 Nov 2013 17:38 WIB

Sertifikasi Diminta Sukarela

Rep: rosita budi suryaningsih/ Red: Damanhuri Zuhri
Logo Halal
Logo Halal

REPUBLIKA.CO.ID,

Rp 1,3 miliar diberikan ke pengusaha kecil untuk pengurusan sertifikasi halal.

JAKARTA — Pemerintah menginginkan agar sertifikasi halal produk bersifat sukarela. Mereka menyatakan, meski tak wajib, nantinya produsen didorong memiliki kesadaran pentingnya status halal pada produknya.

Kepala Seksi Penerapan Standar Ditjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Rully Indrayana mengaku pemerintah mengakomodasi suara produsen dan pengusaha. Karena itu, ia memperjuangkan sertifikasi hanya bersifat sukarela.

“Karena, menurut kami ini sudah sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” ujarnya saat ditemui menjelang rapat panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal antara pemerintah dan DPR di Jakarta, Rabu (27/11).

Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu, kata Rully, tak mewajibkan produk yang beredar di Indonesia halal. Namun, jika sebuah produk mencantumkan logo halal, berarti produk tersebut harus memenuhi standar kehalalan.

Adanya pembahasan pengaturan jaminan kehalalan produk diakuinya merupakan sebuah hal baru bagi Indonesia. Para pengusaha bukannya takut pada aturan baru ini namun perlu diedukasi. Terutama, mengenai pentingnya aturan produk halal.

Kelak harus dijelaskan kepada mereka, dengan mengantongi sertifikat halal, produknya bisa mengalami peningkatan daya saing. Selain Kementerian Perdagangan, Kementerian Agama yang merupakan perwakilan pemerintah juga kurang setuju sertifikasi halal wajib.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Jamil mengharapkan sifatnya hanya sukarela. Ia menyebutnya dengan istilah sukarela plus. “Jadi, semua pihak didorong agar produk yang dibuat dan dipakainya jelas kehalalannya,” katanya.

Menurut Abdul, semua pihak perlu berhati-hati dalam menentukan apakah sertifikasi halal akan bersifat wajib atau sukarela. Selama ini, ia mengakui sifat pengajuan sertifikasi halal yang melalui Lembaga Pengajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI sukarela.

Ia menjelaskan, nantinya secara bertahap statusnya dibuat sukarela plus. Artinya, meski sertifikasi halal tak diwajibkan namun disertai sosialisasi dan edukasi pentingnya kehalalan produk pada masyarakat dan produsen.

Tak perlu memberlakukan status wajib soal sertifikasi. Sebab, kata Abdul, kebijakan ini akan melahirkan beban kepada produsen dan pengusaha. Terutama, pengusaha kecil. Karena itu, pengusaha besar disadarkan.

Mereka harus mendapat penjelasan bahwa sertifikasi halal akan meningkatkan daya saing produk dan menjadi pilihan konsumen Muslim yang membutuhkan kejelasan soal kehalalan produk yang mereka konsumsi.

Sedangkan, untuk menangani pengusaha kecil, perlakuannya berbeda. Mereka justru mengetahui akan pentingnya status halal, butuh dengan sertifikasi halal, namun tak mampu menjangkaunya. “Yang seperti ini perlu kita bantu,’ ujar Abdul.

Pemerintah, katanya, akan berusaha mempermudah pengajuan sertifikasi halal bagi pengusaha kecil dan menengah. Sebagai wakil pemerintah, ia menyatakan tak ingin menghambat perkembangan ekonomi dalam negeri.

Baru-baru ini, Abdul mengungkapkan, pihaknya mengucurkan dana sebesar Rp 1,3 miliar. Dana tersebut dialokasikan untuk membantu proses sertifikasi halal oleh pengusaha kecil dan menengah. Ini disebar ke 13 provinsi masing-masing memperoleh Rp 100 juta.

Mekanismenya, dari provinsi dibagikan ke pengusaha kecil dan menengah yang membutuhkan bantuan dalam proses pengurusan sertifikasi halal. “Ini bukti komitmen pemerintah bahwa kami ingin semakin banyak produk yang punya sertifikat halal,” katanya.

Abdul menegaskan kembali, harus ada penekanan kepada masyarakat soal perlunya produk bersertifikat halal. Kesadaran tersebut mesti melekat pada konsumen dan produsen serta pengusaha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement