Selasa 26 Nov 2013 16:55 WIB

Zaman Adhyaksa, Hak Pakai Tanah di Hambalang Tak Kunjung Turun

Rep: Irfan Fitrat/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Bangunan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Rabu (30/5). (Edwin Dwi Putranto/Republika)
Bangunan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Rabu (30/5). (Edwin Dwi Putranto/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri pemuda dan olah raga (menpora) Adhyaksa Dault pernah mengungkapkan pembangunan sarana dan prasarana olah raga di Hambalang tidak pernah terjadi pada masa jabatannya.

Alasannya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI tak kunjung mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Hak Pakai dan sertifikat tanah di Hambalang, Jawa Barat, tersebut. Mantan kepala BPN Joyo Winoto mengungkapkan, alasan SK Hak Pakai dan sertifikat belum keluar ketika masa jabatan Adhyaksa.

Pada Mei 2006, ia mengatakan, Adhyaksa bersama staf Kemenpora datang kantornya. Saat itu Joyo masih menjabat sebagai Kepala BPN. "Beliau menanyakan proses pensertifikatan hak pakai," kata Joyo, saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (26/11).

Pada saat itu, menurut Joyo, Adhyaksa belum mengajukan permohonan. Ia mengatakan, permohonan itu baru masuk pada September ke kantor pertanahan di Bogor. Dari sana, ia mengatakan, diproses secara berjenjang ke kantor wilayah, dan baru ke pusat. "Di pusat dikelola, ditelaah, dikaji deputi yang bertanggung jawab," kata dia.

Deputi yang mengurus itu adalah Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (HTPT), Bambang Eko Haryoko. Joyo mengatakan, baru berkomunikasi mengenai permohonan hak pakai itu pada Januari 2007. Ia mendapat informasi dari Bambang melalui nota dinas, permohonan belum bisa diproses. "Ada empat hal yang harus diselesaikan," ujar Joyo.

Menurut Joyo, pertama masalah luasan tanah. Kedua, ada laporan mengenai bagian tanah yang disengketan secara tata usaha negara (TUN), Ketiga, ia mengatakan, persoalan pembebasan lahan dan keempat, berkaitan dengan peralihan kepemilikan dari pemilik awal ke kantor Kemenpora. "Beberapa kemudian sudah dipenuhi dan ada yang belum," kata dia.

Menurut Joyo, permasalahan yang belum diselesaikan yaitu mengenai masalah kepemilikan. Ia mengatakan, pada 2004, tanah sudah dilepas oleh PT Buana Estate, perusahaan Probosutedjo. Namun, menurut dia, pada 2006 hal itu dicabu kembali. Karena masalah ini, ia mengatakan, proses permohonan belum bisa diteruskan. "Ada potensi konflik, harus diselesaikan," ujar dia.

Hakim anggota menanyakan mengenai konsep SK yang sudah pernah dikeluarkan, tetapi Bambang meminta untuk menunda penandatanganan. Menurut Joyo, Bambang yang mengajukan draf itu. Namun ketika diajukan, ia mengatakan, Bambang mengingatkan akan adanya potensi konflik karena masalah kepemilikan tanah itu. Menurut dia, pelepasan kepemilikan itu belum terpenuhi hingga Adhyaksa lengser pada 2009. "Belum ada," kata dia.

Mantan Sekretaris Utama Managam Manurung pernah melihat adanya dokumen pelepasan kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU). Ia melihat foto copy dokumen itu. Ia mengatakan, Probosutedjo selaku Komisaris PT Buana Estate pemilik HGU menandatangani surat itu pada 22 November 2009. "Itu dokumen merupakan pernyataan sepihak," kata dia, yang juga menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Deddy Kusdinar.

Joyo mengatakan, ketika Andi Mallarangeng menjadi Menpora, semua permasalahan sudah terselesaikan. SK Hak Pakai pun turun pada awal Januari 2010. Joyo merasa semuanya sudah sesuai prosedur. Ia membantah telah menerima dana Rp 3 miliar untuk mengurus SK Hak Pakai tanah di Hambalang itu. "Tidak pernah," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement