Jumat 22 Nov 2013 22:13 WIB

Wamenhan Nilai Indonesia Tidak Rugi Hentikan Kerja Sama Militer

Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan), Syafrie Syamsuddin
Foto: Antara
Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan), Syafrie Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin, menegaskan, pemerintah Indonesia tidak merasa dirugikan atas penghentian sementara kerja sama militer dengan Australia.

"Tidak ada dampak apa-apa terhadap keputusan yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia. Indonesia bahkan tak ada beban apa-apa terhadap penghentian sementara kerja sama ini," kata Sjafrie usai meninjau kesiapan Pabrik Bom, PT Sari Bahari, Malang, Jawa Timur, Jumat.

Saat ini, lanjut dia, pemerintah Indonesia masih dalam konteks diplomasi dengan Australia, jadi tentunya TNI akan mengikuti kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

"Diplomasi ini dilakukan oleh Presiden dan Kementerian Luar Negeri. Kementerian Pertahanan juga melakukan diplomasi pertahanan," katanya.

Kendati kerja sama dalam latihan militer telah dihentikan sementara, namun kerja sama pendidikan militer dengan Australia tetap berjalan.

"Prajurit kita yang bersekolah di Australia tidak terpengaruh atas penghentian sementara ini. Mereka masih tetap berjalan untuk menyelesaikan studinya, baik yang berada di Australia maupun warga Australia yang bersekolah di Indonesia. Mereka masih mengikuti pendidikan di Lemhannas dan Sesko," kata Sjafrie.

Penghentian kerja sama pertahanan dan latihan militer dilakukan hingga pemerintah Australia memberikan jawaban yang jelas dari apa yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (20/11),menghentikan sejumlah kerja sama antara Indonesia dan Australia guna menyelesaikan isu terkait penyadapan yang dilakukan oleh negeri Kangguru tersebut. 

Tiga kerja sama akan dihentikan yaitu, kerja sama pertukaran informasi dan data intelijen antara kedua negara, menghentikan seluruh kerja sama latihan bersama antara TNI dengan Australia dan kerja sama operasi militer terkait dengan penyelundupan manusia.

Selain itu,Presiden juga meminta agar kerja sama yang dilakukan di masa depan perlu adanya protokol 'code of conduct' (pedoman berperilaku) dan 'guiding principle'.

"Protokol nanti sifatnya mengikat, jelas dan kemudian dijalankan," katanya.

Presiden Yudhoyono mengungkapkan, sampai saat ini pemerintah Indonesia masih menunggu penjelasan resmi Perdana Menteri Australia Tony Abbot terkait penyadapan tersebut untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kalau Australia juga ingin menjaga hubungan baik dengan Indonesia saya masih tetap menunggu penjelasan dan sikap resmi Australia," kata Presiden.

Kepala Negara mengungkapkan kekecewaannya atas tindakan tersebut, mengingat Indonesia dan Australia merupakan tetangga sekaligus mitra. Apalagi pada 2015, kedua negara telah meningkatkan hubungan kerja sama bilateral menjadi kemitraan strategis.

"Kalau ada yang mengatakan intelijen itu bisa melakukan apa saja, saya justru bertanya, intelijen itu arahnya ke mana, kenapa harus menyadap kawan bukan lawan, saya menganggap ini masalah yang serius, bukan hanya aspek hukum, saya kira hukum di Indonesia dan Australia tidak memperbolehkan menyadap pejabat negara lain," katanya.

Presiden menambahkan, yang lebih penting kalau berpikir jernih, ini tentu berkaitan dengan moral dan etika sebagai sahabat, sebagai tetangga, sebagai mitra yang sebenarnya menjalin hubungan yang baik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement