Jumat 22 Nov 2013 08:08 WIB

Australia Menyadap, Indonesia Meratap

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Lima negara mengendalikan dunia: Amerika Serikat, Australia, Inggris, Selandia Baru, dan Kanada. Semua negeri itu berasal dari satu rumpun, yaitu Inggris Raya. Mereka bekerja sama melakukan penyadapan di seluruh dunia. Mereka berbagi tugas, setelah itu mereka mendistribusikan hasil penyadapannya tersebut ke mereka masing-masing. Tentu saja pada tahap berikutnya hasil sadapan itu dibagi ke mitra-mitra utama mereka. Tujuannya tentu untuk kemajuan negeri dan kesejahteraan rakyat mereka.

Sadap menyadap dalam dunia intelijen dan diplomasi merupakan hal yang biasa. Yang penting jangan tertangkap basah. Namun penyadapan kali ini memang istimewa, karena merupakan kolaborasi lima negara. Dengan demikian ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan khusus secara bersma-sama. Ada semacam persekongkolan. Itulah yang membuat respons dunia menjadi emosional. Sejumlah negara penting dan kuat menunjukkan kemarahannya secara serius, seperti yang ditunjukkan Jerman. Sebagian negara lagi merespons relatif serius, seperti diperlihatkan Arab Saudi.

Indonesia, sebagai negara yang dikenal memiliki masyarakat yang nasionalistik, memiliki respons yang tak kalah keras. Walaupun proses kemarahannya merayap dulu. Bahkan komunitas hacker Indonesia sudah lebih dulu melangkah. Mereka meretas sejumlah situs milik pemerintah maupun masyarakat Australia. Ternyata, para peretas Australia tak tinggal diam. Mereka membalas dengan meretas situs milik Garuda Indonesia, Angkasa Pura, dan Kemendikbud. Sampai di sini, pemerintah masih terus meredam. Bahkan isu peretasan situs-situs milik Indonesia dibantah. Di sisi lain, pemerintah juga mengimbau agar para peretas Indonesia menghentikan aksinya. Namun kemudian memuncak setelah Menlu melakukan langkah diplomatik dengan memanggil duta besar Indonesia di Canberra. Ujungnya adalah jumpa pers Presiden, yang antara lain mengancam untuk menghentikan sejumlah kerja sama militer.

Pihak Australia sendiri terlihat menyepelekan isu ini. Tekanan agar PM Australia untuk meminta maaf kepada Indonesia tak dipenuhi. Hubungan Indonesia-Australia memang selalu naik-turun. Australia selalu berada pada titik arogansi dan agresif. Banyak hal yang sudah dilakukan. Menerbitkan Buku Putih yang menyebut adanya bahaya dari utara. Menerbitkan Buku Putih tentang persoalan-persoalan dalam negeri Indonesia. Tindakan pasukan Australia yang over acting saat mendaratkan pasukannya di Timor Timur (kini Timor Leste). Terakhir masalah 'turut campurnya' Australia dalam masalah pemotongan hewan ternak. Australia selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari Indonesia. Tak salah jika Marty Natalegawa menyebutnya sebagai “bukan tetangga yang baik”. Tetangga yang berisik.

Upaya Indonesia untuk berswasembada daging pun 'digagalkan' Australia. Negeri itu menolak rencana Indonesia yang akan membuka keran impornya, agar tak tergantung dari Australia. Tapi kemudian dilawan dengan kelangkaan daging. Akhirnya Indonesia bertekuk lutut karena diembeli ancaman terhentinya beragam kerja sama Indonesia dan Australia di bidang-bidang pertanian lainnya.

Dalam politik global dan regional, tiap-tiap negara telah memiliki mitra tersendiri. Tiap-tiap negara juga memiliki proyeksinya masing-masing. Dalam konteks itu, Indonesia selalu ditempatkan sebagai negara pemasok tenaga kerja murah, penyedia sumber daya alam, dan pasar yang besar. Indonesia berada dalam kasta yang rendah. Masih sama dengan posisi di masa cultuur stelsel di masa kolonial dulu. Karena itu ketika G-20 terbentuk pada 2008, dan Indonesia disertakan, Singapura termasuk negara yang tak nyaman. Namun kedekatan hubungan Presiden SBY dengan Presiden George W Bush membuat posisi Indonesia tetap aman. Lahirnya Trans Pacific Partnership membuat posisi Indonesia coba dipinggirkan lagi. Aliansi ini semacam koreksi terhadap APEC, yang salah satunya dipelopori Indonesia. Aliansi ini tak melibatkan Indonesia. Haya ada 12 negara, yaitu AS, Australia, Selandia Baru, Kanada, Jepang, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Cile, Meksiko, dan Peru. Sebagian besarnya bekas jajahan Inggris, mirip dengan lima negara aliansi penyadapan.

Untuk menjadi bangsa besar memang tak mudah. Harus pandai meniti pergulatan politik global dengan segala aliansi dan kepentingan tiap-tiap negara. Namun modal pokoknya adalah adanya persatuan dan kesatuan tiap-tiap negeri. Pada titik inipun Indonesia sangat sulit. Negeri ini mudah dipecah-pecah, diobok-obok, dan diadu domba. Persatuan dan kesatuan itu tak cukup di level politik, yang paling penting justru di level ekonomi. Untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa penghasil bahan baku pun begitu sulit. Kita dipaksa terus untuk menjadi penghasil bahan mentah. Yang diuntungkan adalah para tetangga terdekat kita. Mereka menikmati bisnis kayu, batubara, emas, timah, pasir besi, nikel, rotan, minyak, CPO, dan sebagainya. Lalu mereka mengembalikan lagi sebagiannya untuk dikonsumsi Indonesia atau menjualnya ke negara-negara maju. Di titik inilah kita mengalami kesulitan di industri kimia dasar, industri elektronika, industri otomotif, alat berat, dan juga listrik. Mereka juga memasok berbagai kebutuhan Indonesia lainnya. Kemandirian dan kemajuan Indonesia menjadi ancaman bagi para tetangga kita.

Kita tak bisa menyalahkan para tetangga kita. Kita juga tak boleh marah atau membenci para tetangga kita. Mereka sedang berjuang untuk memajukan negerinya masing-masing. Mereka sedang berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya masing-masing. Yang harus kita koreksi adalah kemampuan kita untuk bersatu, mandiri, dan berencana secara benar dan baik. Tanpa kemampuan itu, posisi kita akan tetap sama dengan posisi di masa tanam paksa di masa kolonial Belanda dulu. Saat itu kita menjadi penyedia buruh murah, hasil alam, dan sebagai pasar. Saat ini, kita baru merdeka secara politik, tapi belum merdeka secara ekonomi dan cara berpikir. Kita baru bisa memerintah negeri ini sendiri, tapi belum bisa memajukan negara dan belum bisa menyejahterakan rakyat. Tak ada waktu lagi berdebat, sumberdaya alam kita sudah makin habis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement